SUKABUMIUPDATE.com - Fenomena likuifaksi di Palu sebetulnya sudah diprediksi sebelumnya. Dan prediksi tersebut sudah dibuat sejak 2012.
"Di dalamnya ada keterangan sangat tinggi, tinggi, dan rendah. Itu probabilitas kejadiannya. Kalau tinggi, dia berpotensi sekali terjadi likuifaksi," kata peneliti Geologi Teknik dari Pusat Air Tanah Dan Geologi Lingkungan Badan Geologi, Taufik Wira Buana, saat dihubungi Tempo, Rabu, 3 Oktober 2018.
Riset tahun 2012 itu menghasilkan Peta Zona Bahaya Likuifaksi untuk daerah Palu dan sekitarnya. Peta tersebut sudah diserahkan pada pemda setempat.
"Harapan kami, pemda bisa mendapat informasi tentang masalah bencana geolgoi. Salah satunya likuifaksi. Tujuannya, agar aspek bencana geologi bisa jadi acuan pemda ketika menyusun penataan ruang," kata dia. "Kewajiban kami ketika riset sudah selsai menyerakan hasilnya pada pemda. Masalah pelaksanannya itu kewenangan mereka."
Taufiq mengatakan, ada tiga keterangan dalam peta tersebut yakni sangat tinggi, tinggi, dan sangat rendah-rendah. Ketiganya menggambarkan probabilitas terjadinya likuifaksi. "Yang sangat tinggi memang berpotensi sekali terjadi likuifaksi," kata dia.
Peta semacam itu disusun dengan memperhitungkan dua faktor. Yakni pemicu dan faktor kondisi kekuatan tanah dalam menahan gempa. Peta potensi likuifaksi di daerah Palu saat itu masih mempergunakan SNI tahun 2010.
Faktor pemicu gempa misalnya, secara teoritis likuifaksi dipicu oleh gempa dengan kekuatan magnitudo 7,5. "Tapi pada kondisi faktanya, gempa di atas magnitudo 6 bisa menyebabkan likuifaksi," kata Taufiq. Sejumlah peristiwa gempa dengan kekuatan M 6 di Jogja, Padang, serta terakhir di Lombok menghasilkan fenomena likuifaksi.
Meski begitu, Taufiq mengatakan, tidak semua gempa memicu likuifaksi. Kekuatan gempa itu harus lebih besar dair kekuatan tanah. "Kalau pemicu gempa itu bisa menggoyahkan kekuatan tanah, baru bisa terjadi likuifkasi," kata dia.
Menuru Taufiq, Palu menjadi salah satu daerah yang menjadi pilihan untuk penelitian potensi likuifaksi karena keberadaan sesar Palu-Koro. "Palu dekat dengan sumber gempa. Dan sesar Palu-Koro, beberapa ahli sudah menyatakan itu termasuk yang aktif bergerak. Berpotensi besar gempanya," kata dia.
Sementara faktor kondisi kekuatan tanah berkaitan dengan kondisi geologi tanahnya. Umumnya likuifaksi terjadi dengan syarat kondisi tanahnya tersusun dari endapan aluvium yang sifatnya lepas. Di bagian kota Palu sendiri umumnya terdiri dari jenis batuan pasir, kerikil, lanau, dan lempung. "Dominasinya kalau di Palu itu pasir," kata Taufiq.
Syarat itu tidak cukup. Tanah dengan sifat lepas seperti aluvium itu harus jenuh air. Palu memeuhi syarat tersebut. "Kondisi tanahnya jenuh air. Ini ditandai dengan muka air tanahnya dangkal. Estimasinya kurang dari 10 meter," kata Taufiq. "Beberapa daerah dengan kondisi air tanah kurang dari 10 meter termasuk dangkal. Dan cenderung memberikan likuifaksi."
Likuifaksi secara sederhana adalah proses hilangnya kekuatan tanah, daya dukung tanah, karena proses pencairan atau pembuburan akbait efek guncangan gempa bumi. Efek likuifaksi ada yang bersifat lokal dan ada yang menjangkau dalam area yang luas.
Pertama, yang lokal, akan terjadi dalam spot-spot. Pengaruhnya tidak luas. "Merusak pondasi bangunan yang ada di sektiarnya," kata Taufiq. Sementara likuifaksi yang menjangkau areal luas umumnya terjadi karena disertai gerakan tanah. Dua fenomena yakni likuifaksi dan gerakan tanah ini saling berkaitan. Pada peristiwa gempa Palu M 7,4 likuifaksi yang memicu gerakan tanah terjadi di Balaroa dan Petobo di Kota Palu.
Taufiq mengatakan, Balaroa dan Petobo di Palu termasuk dalam daerah yang berpotensi terjadi likuifaksi. “Balaroa potensi tinggi. Sedangkan Petobo sangat tinggi di peta tersebut,” kata dia.
Dia menyimpulkan likuifaksi dalam skala luas yang terjadi di Balaora dan Petobo diduga jenis likuifaksi yang memicu gerakan tanah. "Itu dilihat dari video yang beredar. Sudut pandang saya terbatas. Itu baru dugaan," kata dia.
Sumber: Tempo