SUKABUMIUPDATE.com - Internet dan teknologi, menurut Direktur Global Research and Analysis Team (GReAT) Kaspersky Lab Asia Pacific, Vitaly Kamluk, adalah sebuah dilema bagi setiap negara. Di satu sisi, perkembangan teknologi dan Internet tidak bisa dibendung. Di sisi lain, perkembangan ini memunculkan banyak serangan siber.
"Di tengah kedua pilihan itu, pemerintah setiap negara harus membuka diri agar bisa terus berkembang," ujar Kamluk dalam konferensi Cyber Security Weekend yang digelar di Kamboja, 19-22 September 2018.
Nah, saat itulah dunia Internet tak ubahnya seperti negara yang harus dijaga ketat oleh pemerintah tiap negara. "Mereka (pemerintah setiap negara) saling berlomba membuat teknologi keamanan terbaru untuk menyaring konten yang masuk ke dalam negara mereka," kata Kamluk.
Dilema tersebut, menurut Kamluk, ditambah dengan isu geopolitik. Isu ini akan mempengaruhi bagaimana pemerintah setiap negara membuat aturan soal perlindungan data, seperti Uni Eropa yang membuat general data protection regulation (GDPR).
Aturan tersebut dibuat guna melindungi warga dari penyalahgunaan data. Seperti diketahui, Facebook baru-baru ini terlibat dalam skandal data Cambridge Analytica. Lebih dari 80 juta data pengguna Facebook dibocorkan pihak ketiga kepada Cambridge Analytica dan digunakan dalam memanipulasi pemilihan presiden Amerika Serikat.
Jadi, kata Kamluk, tak heran setiap negara dan warganya kian banyak yang menaruh curiga terhadap negara lain atau perusahaan teknologi terkait keamanan data. "Perusahaan smartphone, perusahaan keamanan digital, bahkan media sosial. Apakah perusahaan ini berafiliasi dengan Rusia, atau Amerika Serikat, atau Cina?," Kamluk mengatakan.
"Negara-negara saat ini mulai membangun tembok dan batas bagi mereka sendiri. Dunia (Internet) terpecah. Itu menguntungkan sekaligus merugikan karena kita tidak bisa bersatu dalam melawan penjahat siber," ujar Stephan Neumeier, Managing Director Asia Pacific Kaspersky Lab, di tempat yang sama. Mengutip Chief Executive Officer Kaspersky Lab Eugene Kaspersky, Neumeier mengatakan perpecahan itu dengan istilah Balkanisasi. "Era digital tanpa batas kini mulai berakhir," ujar dia.
Balkanisasi sebetulnya adalah istilah yang diambil dari perang Balkan yang membuat negara Yugoslavia terpecah menjadi 7 negara, yakni Slovenia, Kroasia, Makedonia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Serbia, dan Kosovo.
Menurut Neumeier, tren Balkanisasi tersebut mulai terjadi dalam konteks dunia teknologi. "Banyak negara yang ingin terisolasi dari negara lainnya. Mereka menjalankan proteksionisme," kata dia. Hal tersebut, kata Neumeier, tentu menyulitkan dua negara atau lebih ketika ingin membangun kerja sama atau perusahaan asing dengan perusahaan asing lainnya.
"Sangat kontradiktif. Di satu sisi memang mereka terisolasi dari dunia luar, tapi tidak menutup kemungkinan mendapatkan serangan dari sektor siber. Kalau tidak ada negara yang mau bekerja sama dan sumber daya teknologi terbatas, lantas apa yang akan dilakukan?" ujar Neumeier.
Sumber: Tempo