SUKABUMIUPDATE.com - Koreografer Eko Supriyanto yang menata tari di 3 segmen upacara pembukaan Asian Games 2018 harus bekerja keras menemukan inti setap tarian darah yang ia tampilkan. Paslanya, durasi yang tersedia untuk setiap segmen sangat terbatas: segmen earthselama 9 menit, api 11 menit, dan energi 13 menit.
“Ini betul-betul karya baru, murni mulai dari nol,” kata Eku Supriyanto, yang juga akrab disapa Eko Pece, ini kepada Tempo, 9 Agustus silam, di Jakarta.
Menurut Eko Supriyanto, segmen earth atau bumi mengangkat seni tradisi Indonesia. Lalu segmen kedua, api, menggambarkan seperti apa Indonesia ini. Yang ketiga, energy of Asia, menggambarkan sikap dan semangat anak-anak muda Indonesia.
Berikut penjelasan Eko Supriyanto mengenai makna dan penampilan masing-masing segmen tersebut.
1. Segmen Earth
Di dalam segmen pertama, saya menampilkan tarian tradisional dari Sabang sampai Merauke. Saya pilih beberapa tarian yang menonjolkan hal-hal menarik. Misalnya di Kalimantan ada tarian Hudoq, Belian Bawo. Tapi tidak mungkin menampilkan tarian ini dalam konteks ritual seturut tradisinya. Sebab, saya harus mengemas masing-masing tarian ini selama 30 detik saja.
Saya merasa ditantang betul bagaimana caranya adil. Menampilkan ini dalam waktu singkat, tapi saya tidak boleh meninggalkan esensi tarian ini. Untuk membantu penonton mengerti esensi, saya menambahkan keterangan saat tarian ditampilkan.
2. Segmen Api
Saya ingin menceritakan Indonesia sangat dekat dengan substansi keberanian dan semangat membara, bukan kemarahan. Untuk menggambarkan ini, saya menggunakan tari kontemporer, tapi dasarnya tetap tradisi. Misalnya saya menggunakan substansi kecak. Bukan menampilkan kecaknya, tetapi spirit dari kecak.
Saya mengelaborasinya supaya menjadi satu tarian kontemporer tentang semangat, keberanian, dan juga persatuan dari seluruh masyarakat Indonesia.
3. Segmen Energy
Yang ketiga ini menggambarkan bagaimana generasi muda Indonesia, apalagi di dalam konteks tarian, sangat membuka diri. Ada hip-hop, balet, dan modern dance yang berkembang di sini, membaur dengan tarian-tarian tradisi kita. Artinya tari tradisi Indonesia tidak hanya berhenti di tempat, terus berjalan seiring dengan perkembangan zaman.
Kalau berhenti, ya nuwun sewu, mereka hanya akan berada di museum. Saya juga hendak menunjukkan bahwa generasi Indonesia memiliki attitude yang seperti ini.
Demikianlah berbagai konsep yang dikembagkan Eko Supriyanto dalam menggarap karyanya. Dalam memilih nomor tarian Eko mempertimbangkan banyak aspek. Misalnya dia merasa merasa perlu mengenalkan bahwa Jawa Timur tidak hanya ngremo, tapi ada gandrung lanang. Lalu NTT, ada tarian likurai yang belum banyak dikenal. “Di Sumatera ada tari piring, tapi kami pilih sipitu cawan,’ kata dia.
Sumber: Tempo