SUKABUMIUPDATE.com - Kitab kuno Aceh abad ke-18, yang membahas kejadian pascagempa, dipamerkan di ajang Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-7, Banda Aceh. Kitab milik kolektor Tarmizi Abdul Hamid dipamerkan di Museum Aceh.
Membaca kitab itu, setidaknya bisa melihat kejadian pascagempa di Lombok, NTB baru-baru ini. Juga kejadian tsunami Aceh, Desember 2004 silam.
Misalnya, gempa di NTB terjadi pada Ahad, 5 Agustus 2018 atau 23 Dzulkaidah 1439 H, sekitar pukul 18.46 WIB. Bisa diutarakan bahwa gempa terjadi sewaktu Maghrib. "Jika pada Bulan Dzulkaidah gempa ketika Magrib, maka akan banyak orang kaya yang mati," kata Istiqamatunnisaq, pemandu di Museum Aceh, saat membaca kitab yang dibuat tahun 1725 tersebut.
Maksud dari kalimat itu adalah, akan banyak orang yang meninggal akibat gempa, persis yang terjadi di Lombok yang mengakibatkan sekitar 387 orang meninggal dunia.
Istiqamatunnisaq juga membacakan gempa yang terjadi di waktu-waktu lainnya. Bahkan, gempa dengan disusul Tsunami yang terjadi di Aceh pada Minggu 26 Desember 2004 silam dalam waktu Dhuha (pagi) juga cocok dengan yang tertera di kitab tersebut. "Jika pada ketika Dhuha alamat bala akan datang kepadanya Tsunami," katanya sesuai kitab tersebut.
Jika gempa terjadi pada Bulan Dzulkaidah sekitar waktu Subuh, maka akan banyak pohon menghasilkan buah-buahan sesudahnya. Jika terjadi waktu Zuhur, maka hujan sangat lebah akan datang sesudahnya. "Jika terjadi pada Isya, alamat orang yang dari jauh akan datang ke negeri itu," tulis kitab tersebut.
Tarmizi A Hamid, kolektor kitab, mengatakan Indonesia memang daerah yang rawan gempa. "Ulama dulu menulis manuskrip Aceh sesuai dengan peristiwa, jadi dengan adanya manuskrip gempa yang begitu lengkap, begitu detil, berarti negara kita ini dikepung oleh bencana atau rentan dengan bencana," katanya.
Mengenai siapa penulisnya, ia tidak mengetahuinya, namun dapat dipastikan bahwa kitab itu ditulis oleh para ulama dan pemikir sufi sekitar abad ke-18. Hal itu berdasarkan watermark yang ada pada kertas.
Meskipun demikian, dia kembali menegaskan bahwa alam Indonesia memang rawan bencana. Dia menambahkan tidak mungkin orang dahulu menulis kitab tersebut jika tidak ada peristiwa yang terjadi selain untuk dipelajari.
Sumber: Tempo