SUKABUMIUPDATE.com - Badan Pangan dan Pertanian Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, Senin 18 Desember 2017, merayakan peresmian unit pemrosesn tepung sagu terintegrasi di Desa Label, Kecamatan Besulutu, Kabupaten Konawe, Sulaweri Tenggara.
 “Saya berharap pusat pemrosesan sagu yang terintegrasi akan meningkatkan nilai sagu menjadi produk yang diminati pasar global sekaligus memperbaiki kesejahteraan penduduk Besulutu dan Konawe,†kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Konawe, M. Akbar, dalam keterangannya Selasa 19 Desember 2017.
Akbar juga berharap bahwa proyek ini dapat dicontoh dan direplikasi di daerah lain yang memiliki potensi serupa. Di samping Kecamatan Besulutu, daerah potensi sagu yang besar di Konawe adalah Kecamatan Puriala, Lambuya, Meluhu, dan Sampara.
Unit Pengolahan Sagu Terintegrasi yang dibangun dan didukung FAO itu menekankan upaya peningkatan pemrosesan yang higienis, dengan ongkos produksi yang efisien dan bahkan pemanfaatan limbah dengan teknologi yang tepat untuk menjamin unit pemrosesan yang ramah lingkungan.
Bila dibandingkan dengan pemrosesan cara tradisional di mana sagu dipanen dengan alat sederhana, menggunakan air sungai untuk pemrosesan, maka unit pemrosesan sagu modern menggunakan mesin pemarut batang sagu tepat, penggunaan sumber air bersih dengan kolam proses tepung basah yang terpisah sehingga mampu menghasilkan kualitas yang jauh lebih baik dengan waktu proses yang lebih singkat. Dengan penggunaan teknologi yang modern, pemrosesan hanya memerlukan empat jam untuk sebuah batang sagu.
Dengan rumah pengeringan yang terpisah, sepanjang hari terang, satu batang sagu akan menghasilkan sekurangnya 200 kg sagu dalam tiga hari saja. Sementara itu apabila menggunakan pemrosesan tradisional akan memakan waktu sampai satu minggu dengan hasil yang lebih sedikit dan kualitas yang rendah.
Sebagai bagian dari unit pemrosesan “tanpa-limbahâ€, limbah dari kulit sagu dimanfaatkan untuk memproduksi arang, sementara itu limbah ampas sagu digunakan sebagai media tumbuh jamur yang dapat dikonsumsi sementara limbah cair dapat dimanfaatkan sebagai sumber bio-gas atau ethanol. Awalnya, limbah pemrosesan sagu tidak dimanfaatkan sama sekali, sementara limbah cair menjadi sumber polusi sungai setempat.
Samsuddin, salah satu petani sagu di desa Labela, mengatakan bahwa dia sangat senang dengan fasilitas unit pengolahan sagu terintegrasi ini sekaligus pelatihan-pelatihan yang diberikan. “Dulu kita biasanya membuang limbah sembarangan yang merugikan dan mematikan tumbuhan lainnya,†ujarnya.
Terlepas dari keberhasilan demonstrasi pengembangan teknis pemrosesan sagu, dengan investasi pembangunan dua unit pemrosesan sagu terintegrasi, dan mendukung unit usaha bisnis tepung sagu yang dikelola oleh kelompok wanita, FAO memandang bahwa masih banyak upaya yang perlu dilakukan untuk menjamin program dan usaha ekonomi ini menjadi usaha berkelanjutan
“Dengan serah terima program yang dilakukan FAO hari ini, kita masih berada dalam masa kritis dan harus terus berupaya jangan sampai kehilangan momentum. Hanya dengan upaya bersama dari seluruh pemangku kepentingan baik dari pemerintah dan pihak swasta maka kesempatan yang besar ini dapat menjadikan pemanfaatan tanaman sagu dan pemrosesan tepung sagu akan menjadi industri pedesaan yang membawa keuntungan ekonomi di wilayah timur Indonesia,†ujar Mark Smulders, Kepala Perwakilan FAO di Indonesia.
Sulawesi Tenggara adalah penghasil sagu terbesar setelah Papua dengan luasan saat ini berkisar 5.000 hektar. Dari generasi ke generasi, penduduk di provinsi ini memanfaatkan sagu alam dari hutan sagu. Tetapi sejak 2016, FAO menjadi pionir pemanfaatan sagu yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi bekerja sama dengan kelompok tani di Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan dan kelompok pengolah makanan di Kota Kendari.
Sumber: Tempo