SUKABUMIUPDATE.com - Dian Pelangi menunjukkan karyanya di acara International Fashion Summit (Sommet International de la Mode) sebagai rangkaian penutup acara Paris Fashion Week di Prancis pada 4 Oktober 2017. Perhelatan ini menyisakan pengalaman yang berharga bagi Dian Pelangi mengenai pentingnya toleransi antar umat beragama.
Terpilih sebagai salah satu pemenang dari Islamic Fashion and Design Council (IFDC) tidak serta merta membuat perjalanan desainer busana muslim ini untuk tampil dalam gelaran fashion dunia tersebut berjalan lancar. Dian mengatakan penyelenggara sempat mempertanyaan penggunaan jilbab pada koleksi busananya.
Mereka beralasan, masyarakat Prancis sulit menerima busana muslim yang dianggap terlalu mencolok dengan penutup kepala. Penyelenggara juga menghindari kontroversi tampilnya hijab pada masyarakat Prancis. "Sebanyak 5 dari 12 modelku diminta tampil tanpa hijab," kata Dian Pelangi di Jakarta.
Menanggapi permintaan itu, Dian Pelangi, 26 tahun, mengaku terkejut tapi dengan tegas menolak melepaskan jilbab para penampilan modelnya. "Jelas aku tolak karena permintaan itu berlawanan dengan prinsip dan nilai-nilai yang hendak aku sampaikan," ucapnya.
Dian Pelangi menyayangkan beberapa desaiiner yang menyerah pada permintaan penyelenggara, dan merelakan penampilan modest fashionnya dengan melonggarkan bagian leher yang dibiarkan terbuka, atau rambut yang sedikit menyembul. "Aku kukuh pertahankan model-modelku tetap pakai jilbab karena aku merasa punya tanggung jawab merepresentasikan muslimah berhijab yang benar itu seperti apa," kata Dian Pelagi.
Dian Pelangi memahami situasi politik di negara tersebut. Dengan kondisi itu, justru modest fashion harus tampil apa adanya dalam gelaran sekelas Paris Fashion Week untuk memberikan pengertian kepada pihak-pihak yang salah paham terkait penggunaan kerudung pada muslimah.
Pemerintah Prancis beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang antipati terhadap penduduk muslim. Pada 2013, pemerintah membatasi penggunaan kerudung di tempat umum karena menganggap itu sebagai ekspresi keagamaan yang ekstrem.
Sumber: Tempo