SUKABUMIUPDATE.com - David Meade menyatakan, peristiwa gerhana matahari total pada (12/8/2017) merupakan pertanda kiamat bumi. Teori ini dia ungkap dalam bukunya Planet X – The 2017 Arrival (2016). Dalam buku ini dia mengutip beberapa ayat dari Kitab Yesaya dalam Perjanjian Lama.
Seperti dilansir laman berita Daily Mail, Rabu (9/8/2017), Meade mengutip ayat ke-9 dan ke-10. Kedua ayat tersebut berbunyi:
Sungguh, akan datang hari Tuhan yang berisi dengan kebengisan dan murka yang menyala-nyala,
Untuk membuat bumi menjadi sunyi sepi,
Dan untuk memusnahkan orang-orang yang berdosa.
Sebab bintang-bintang dan gugusannya di langit tidak akan memancarkan cahaya,
Matahari akan menjadi gelap pada waktu terbit,
Dan bulan tidak akan memancarkan sinarnya.
Meade menyebut ayat-ayat tersebut terkait dengan "33 Convergence", yakni ketika semua kejadian mencakup angka 33. "Saat gerhana pada 21 Agustus, fajar akan gelap seperti disebutkan dalam Kitab Yesaya," ujar Meade.
Dia mengatakan, bulan yang digambarkan dalam Kitab Yesaya itu disebut bulan hitam. Hal itu, menurut dia, terjadi per 33 bulan. Dalam kitab, nama Elohim alias Allah pun muncul 33 kali.
Solah-olah tidak kebetulan, Meade juga menyebutkan contoh 33 lainnya. "Gerhana akan mulai muncul di Lincoln Beach, Oregon, atau negara bagian ke-33 dan berakhir di 33 derajat di Charleston, South Carolina," kata Meade.Â
Dan, kata dia, gerhana matahari total belum pernah terjadi lagi sejak 1918 atau 99 tahun lalu. Atau, dalam bahasa Meade, 33 kali 3.
Setelah gerhana matahari total selesai, Meade menjelaskan, Planet Nibiru yang berukuran raksasa akan muncul di cakrawala dan menabrak bumi. Teori konspirasi lain menyebutkan bahwa planet tersebut akan muncul di langit pada 23 September sebelum bertabrakan dengan bumi.
"Planet ini tidak akan dapat tertangkap mata saat ini, kecuali Anda berada di tempat tinggi di Amerika Selatan dan memantaunya dengan lensa yang sangat canggih," ujar Meade. Para pembaca bukunya kerap berkomentar bahwa hasil analisisnya tersebut berdasarkan dari kutipan religius tanpa ada pengamatan ilmiah.
Sumber: Tempo