SUKABUMIUPDATE.com - Dalam teori relativitas umum yang dirilis lebih dari seabad lalu, Albert Einstein menyatakan gravitasi bisa membelokkan cahaya. Kini teori itu mulai digunakan para ilmuwan untuk mengitung bintang.
Bintang adalah gumpalan bola gas raksasa yang tersebar di jagat raya dan triliunan kilometer jauhnya dari bumi. Namun, di langit bumi, bintang tampak seperti noktah kecil yang berpendar lemah. Sebagian besar di antaranya malah tidak bisa dilihat tanpa teleskop yang kuat.
Karena masalah jarak itulah, cukup rumit untuk mengukur seberapa besar massa bintang yang teramati. Ada pula bintang-bintang yang sulit diobservasi menggunakan teleskop. Lalu bagaimana sebenarnya manusia bisa mengukur berat bintang?
Biasanya massa bintang, planet, hingga galaksi diukur dengan memperhitungkan seberapa besar pengaruh gravitasi satu sama lain. Dengan kata lain, jika ada satelit tengah mengitari Jupiter, massa planet itu bisa dihitung dengan mengukur efek gravitasi Jupiter terhadap orbit satelitnya.
Instrumen sensitif, seperti yang dimiliki teleskop antariksa Hubble milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), bisa mendeteksi perubahan kecil dalam kecepatan bintang berdasarkan pergerakan planet yang terikat padanya. Hasil pengukuran ini juga berisi informasi tentang massa bintang.
Adapun peneliti juga bisa mengukur langsung massa bintang yang termasuk dalam sistem bintang biner. Artinya, mereka memiliki orbit yang berdekatan sehingga gravitasinya saling mempengaruhi dan dapat dikalkulasi untuk menentukan massanya.
Para astronom dari Space Telescope Science Institute, Baltimore, Amerika Serikat, telah membuat metode baru untuk menghitung massa bintang, terutama yang sulit diamati. Uniknya, teknik ini dibuat berdasarkan kalkulasi ahli fisika Albert Einstein dalam teori relativitas umum 102 tahun lalu.
Dalam teorinya, Einstein menjelaskan soal bagaimana kekuatan obyek-obyek raksasa di jagat raya bisa "membengkokkan" ruang. Kita merasakannya sebagai gravitasi.
Gravitasi itu juga dapat mempengaruhi cahaya sehingga posisi bintang akan tampak berbeda dari lokasi aslinya jika dilihat dari bumi. Ilusi optik kosmik ini dikenal sebagai efek mikrolensing gravitasi.
Menurut Kailash Sahu, peneliti dari Space Telescope Science Institute, teknik mikrolensing ini bisa diandalkan untuk dipakai langsung menentukan massa bintang. "Seperti menempatkan bintang di atas timbangan, penyimpangan posisi itu seperti pergerakan jarum penunjuk angka beratnya," kata Sahu seperti ditulis laman Science Daily.
Dalam laporan di jurnal Science, Rabu pekan lalu, teknik mikrolensing ini juga bisa dipakai untuk mengestimasi massa lubang hitam dan planet liar alias obyek yang berkeliaran terlalu jauh dari sistem bintang mereka.
Para peneliti menguji teknik ini memakai teleskop antariksa Hubble untuk mengukur massa Stein 2051 B. Bintang Stein 2051 B merupakan katai putih, bintang yang meredup karena kehabisan bahan bakar. Dinamai atas penemunya, pastor dan astronom dari Belanda, Johan Stein, bintang itu terletak sekitar 17 tahun cahaya dari bumi dan berusia 2,7 miliar tahun.
Lewat Hubble, para peneliti mengobservasi Stein 2051 B saat dia melintas di depan sebuah bintang yang menjadi rekannya, sebuah katai merah yang cukup terang. Masalahnya, para ilmuwan tidak bisa mengukur massa karena lokasi kedua bintang tersebut terlalu jauh. Jarak di antara keduanya mencapai 8 miliar kilometer atau hampir dua kali jarak Pluto ke matahari.
Mengukur pembelokan cahaya dari dua bintang melalui lensa teleskop jelas rumit. Apalagi Stein 2051 B tampak 400 kali lebih terang dari bintang di belakangnya.
"Ibarat melihat kunang-kunang yang terbang di sebelah lampu pijar, gerakan serangga itu samar dan pancaran cahaya lampu membuat serangga itu semakin sulit terlihat," kata Jay Anderson, peneliti yang mengukur posisi bintang-bintang berdasarkan citra Hubble.
Ketika berada dalam posisi sejajar, gravitasi Stein 2051 B akan membengkokkan cahaya dari bintang yang berada jauh di belakangnya tersebut.
Posisi bintang jauh itu ternyata menyimpang sekitar 2 milidetik busur dari lokasi aslinya. Angka penyimpangan ini sangat kecil, seperti mengamati semut yang merayap di atas permukaan koin dari jarak 2.400 kilometer.
Dengan pengukuran penyimpangan cahaya ini, para peneliti menghitung massa bintang katai putih tersebut sekitar 68 persen dari massa matahari. Hasil perhitungan ini ternyata sesuai dengan prediksi teoretis mereka sebelumnya.
Para peneliti berencana menggunakan Hubble dan perhitungan efek mikrolensing gravitasi untuk mengukur massa Proxima Centauri, induk sistem tata surya yang paling dekat dengan bumi
Berhasilkah peneliti menghitung massa bintang menggunakan teori relativitas umum dari Albert Einstein? Kita tunggu saja hasilnya.
Sumber: Tempo