SUKABUMIUPDTE.com - Kisah ini tentang seorang wanita Sukabumi yang berjuang menjadi tulang punggung bagi keluarga. Untuk ibu, dan keempat adik kandungnya yang masih memerlukan biaya sekolah. Ia rela menjadi istri simpanan seorang pejabat negara tanpa mempedulikan perasaannya sendiri. Bahkan ia harus membuang jauh-jauh cita-citanya melanjutkan kuliah.
Sebut saja namanya Echa, perempuan kelahiran Sukabumi tahun 1995. Pemilik wajah cantik ini, memiliki tinggi badan 170 centimeter, dan berat 45 kilogram. Kulitnya kuning langsat, dan memiliki mata indah yang menjadi magnet bagi mata laki-laki yang memandangnya.
Echa adalah anak pertama dari lima bersaudara, ibunya yang tidak bekerja, sedangkan ayahnya sudah lama meninggalkan keluarganya, entah ke mana. Prihatin dengan keadaan ekonomi keluarganya, membuat perempuan yang tinggal di Lembursitu, Kota Sukabumi ini, nekad mengadu nasib di ibu kota, DKI Jakarta.
"Setelah lulus SMA, Echa berniat mencari pekerjaan, karena ingin membantu perekonomian keluarga," ujar pemilik rambut panjang lurus itu memulai perbincangan dengan Annisa Rahmatillah dari sukabumiupdate.com, Sabtu (23/4) sore, pukul 16.30 WIB.
Bukan bekerja kantoran, berbekal ijazah SMA, Echa hanya membantu di toko milik salah seorang saudaranya. “Di Jakarta gue kerja di toko kue, ya gajinya nggak seberapa, namanya juga toko biasa,†tambahnya mengenang awal ia merantau di Jakarta.
Namun, tanpa disengaja, di tempat ia bekerja itulah ia dipertemukan dengan Yuni, temannya satu angkatan waktu duduk di bangku SMP. Disebut Echa, penampilan Yuni nampak glamour, sehingga membuat ia nyaris tidak mengenalinya. “Waktu pertemuan itu tukeran nomor handphone sama si Yuni. Sejak SMP kita tuh memang dekat banget. Jadi dia sudah tahu banget masalah keluarga gue,†kenang Echa lebih jauh.
Tak dipungkiri jika dirinya rindu mencurahkan isi hati kepada Yuni. Hingga suatu hari, di hati perempuan yang jauh dengan keluarga itu, tersimpan perasaan jika hidupnya tidak ada yang berubah. Echa jenuh dengan kehidupannya saat ini. Ia resah, setiap kali pulang ke Sukabumi, selalu saja disuguhi keluh kesah ibu dan adik-adiknya.
“Gue cuma pengen curhat sama si Yuni, ngeluarin semua unek-unek yang ada di hati, biar lega,“ ujarnya lirih. “Waktu ketemu, gue juga penasaran, apa sebenarnya kerjaan dia. Kayaknyadia sukses secara karir. Yuni yang gue lihat bisa mengubah ekonomi keluarga. Dulu hidup susah, tapi saat bertemu lagi, serba mewah,†imbuh Echa.
Ketika momen curhat pertama kali setelah lama tidak bertemu , Yuni menceritakan pekerjaan sesungguhnya yang ia jalani. “Ternyata dia bekerja jadi pe-es-ka (pekerja seks komersial-red). Pantas aja kelihatan serba mewah,“ ungkap Echa lebh jauh.
Pada saat itu pula, Yuni menawarkan Echa pekerjaan yang sama. Bahkan Yuni menjanjikan untuk mengenalkan Echa kepada pria tajir. Namun, saat itu, Echa tidak tertarik sedikit pun. Alasannya sederhana, ia hanya teringat dosa, dan nuraninya menolak jika harus menafkahi ibu dan adiknya dengan uang haram.
Pertemuan curhat itu pun diakhiri tanpa solusi apa pun untuk masa depan ekonomi keluarganya. Echa pulang dengan tubuh gontai, kemudian lanjut beristirahat, agar esok tidak terlambat untuk kembali menjadi penjaga toko kue. Kecil, namun halal dan berkah, pikirnya.
BACA JUGA:
Pengakuan: Mengintip Prostitusi di Ciracap Kabupaten Sukabumi
Pengakuan: Mengintip Bisnis Lendir di Ibu Kota Kabupaten Sukabumi
Pengakuan: Labirin Hidupku, Lesbi dan Pria Beristri
Tetapi seiring berjalannya waktu, Echa yang saat ini telah menginjak usia 22 tahun, mulai mempertimbangkan tawaran Yuni. Jika ia mengorbankan dirinya, maka tak akan ada lagi beban ekonomi yang dia alami bersama ibu dan adik-adiknya, gumamnya dalam hati.
Dua hari setelah pertemuan kedua dengan Yuni, akhirnya Echa menelepon sahabat karibnya itu, dan menyetuji untuk dikenalkan kepada laki-laki tajir. “Saat itu gue masih ragu, karena syaratnya, gue harus mau diajak tidur sama laki-laki itu,†kenang Echa lagi. â€Umurnya udah 50 tahun, dalam hati gue berpikir, ini sih pantasnya jadi bapak gue. Tapi demi uang dan demi pengalaman pertama, gue memberanikan diri,“ ungkapnya.
Malam pertama Echa menjual diri, terasa waktu begitu lambat berputar. Malam itu, Echa menghabiskan waktunya dengan seorang pria tua di salah satu hotel di Jakarta Barat. Namun, diakuinya, demi memuaskan pelanggan, ia berusaha memerlihatkan wajah sumeringah, caranya dengan menengak minuman beralkohol.
Tak sadar, usai kencan, ia pun tertidur pulas, hingga terbangun dan merasa kaget, ketika mendapati uang satu juta dua ratus ribu Rupiah di atas selimut. “Gilak lo, gue cuman tidur aja dapet uang. Gak usah kerja angkut-angkut dus kue lagi," pikir Echa saat itu.
Seiring berjalan waktu, Echa mulai menikmati hari-harinya sebagai wanita panggilan, karena menurutnya, dengan pekerjaanya itu, dia bisa membahagiakan ibu dan adik-adiknya. Terlebih, dalam sehari, Echa mengaku bisa tidur dengan satu hingga dua laki-laki.
“Gue jujur aja merasa seneng melihat ibu dan adik-adik gue bahagia. Gue bisa merenovasi rumah sedikit-sedikt. Tapi kadang gue sedih, apa se-gak peduli itu ibu gue sama apa yang gue lakuin di Jakarta. Apa yang ada di pikirannya, asal ada uang? Dalam hati gue selalu bertanya, apa ibu gue nggak penasaran, gue ini kerja apaan,“ tuturnya dengan mimik wajah sedih.
Tidak terasa, setahun sudah Echa menjalani pekerjaan haramnya itu. Ia benar-benar menikmatinya, menjalaninya dengan keceriaan. Ia tidak ambil pusing, bukan saja dengan kecurigaan tetangga-tetangganya, tapi juga sudah tidak memedulikan perasaannya. Yang ada di benaknya saat itu, hanya uang. Melihat ibu dan adik-adiknya bahagia, itu sudah cukup baginya.
BACA JUGA:
Pengakuan: Ayu, Kembang Layu dari Cikembang
Hingga pada suatu malam, seperti biasa Echa menerima telepon dari salah seorang pelanggannya. “Tapi waktu itu, bukan dia yang mau tidur sama gue, tapi temannya.â€
Malam itu pun, Echa melakukan “kewajibannya†dan menerima “haknyaâ€, dari seorang pria tua berumur 51 tahun, sudah memiliki istri dan anak. Sebut saja, namanya Hendrik.
Diakuinya, Hendrik memang berbeda dengan pelangan lainnya, karena pria itu memberinya perhatian lebih kepadanya. Bahkan sehari usai kencan pertama dengan Hendrik, Echa kerap menerima telepon dari pria itu. “Sering ngajak bertemu. Kadang sekadar makan, shopping, sampai tidur.â€
Di luar dugaan Echa, ternyata di balik perlakuan istimewa Hendrik kepadanya, ada yang diinginkan darinya. Pria yang sudah memiliki istri itu menawarinya menjadi istri simpanan, dan memintanya berhenti menjual diri. “Gue kaget. Tapi nggak tau kenapa, spontan waktu itu, gue langsung setuju.“
Tapi begitu, Echa bukanlah gadis penjaga toko kue yang lugu. Ia menyetujui permintaan Hendrik, dengan syarat izin kepada ibunya, dibelikan mobil, tinggal di apartemen, membiayai hidup ibu dan pendidikan adik-adiknya, serta hidup mewah di Jakarta.
Bagi Hendrik, yang belakangan Echa baru ketahui adalah seorang pengusaha dan salah seorang anggota DPR RI itu, semua syarat yang diajukan Echa, bukanlah sesuatu yang mustahil dipenuhi. Namun, ia juga mengajukan syarat untuk Echa, dari mulai berhenti menjual diri, menjaga rahasia hubungan mereka, sekaligus tidak boleh berhubungan dengan laki-laki lain, apa pun bentuk hubungannya.
Tidak sulit kemudian untuk mendapat izin dari sang ibu yang sudah terlanjur gelap mata oleh uang. Pernikahan secara siri, tanpa surat nikah pun digelar terbatas, di kediaman Echa, di Sukabumi. Tentu saja setelah syarat yang diminta Echa dipenuhi Hendrik, tinggal di apartemen, mobil baru, dan kiriman uang untuk ia dan keluarganya.
Setelah menikah, Echa begitu menikmati status barunya sebagai istri muda. Hidup di apartemen mewah bergelimang harta, dan tidak perlu lagi mengkhawatirkan masa depan adik-adiknya.
“Keluarga gue di Sukabumi hidup enak. Kalau Hendrik sesekali aja balik ke apartemen, itu pun kalau dia lagi pengen, gak nyampe sehari. Maklum dia kan sibuk, dan sudah beristri juga,†terang Echa.
BACA JUGA:
Pengakuan: Selingkuh Dibalas Selingkuh
Pengakuan: Ternoda Diusia Belia
Namun, seiiring waktu berjalan, Echa mengaku, ternyata hidup mewah yang dia idamkan sejak dulu itu, tak seindah apa yang dibayangkan selama ini. “Di balik hidup mewah gue, gak ada yang tau kan, gue tersiksa, ngebatin. Sementara, ibu gue berpikir, kalau gue bahagia dan baik-baik aja,“ ujarnya.
Di balik hidup mewahnya itu, diakuinya, ada penderitaan batin yang ia alami. Ia harus rela menjadi istri simpanan, istri cadangan, yang dihampiri hanya jika Hendrik ingin menidurinya, tidak lebih dari itu. Kemesraan dan kasih sayang Hendrik tidak pernah lebih dari satu hari. Lantas, apa bedanya, dengan menjual diri? Bahkan ketika masih menjual diri, setidaknya ia masih bisa hangout bareng teman-temannya.
“Jujur, gue juga pengen ngerasain jadi istri biasa, bukan jadi cewek yang udah dipake terus ditinggalin. Status gue udah nikah, tapi kenyataannya gue gak pernah diperlakuin seperti istri-istri lainnya,“ keluh Echa.
Diakuinya pula, terkadang ia iri jika melihat pasangan lain pergi hangout tanpa ada beban takut ketahuan orang lain. “Gak seperti orang lain, gue berpergian aja selalu pilih-pilih tempat, karena takut ada yang memergoki.â€
Kesepiaan Echa kian menjadi, bukan saja karena jauh dari keluarga, tetapi karena salah satu syarat dari Hendrik, adalah ia harus menutup diri dari teman-temannya. Sehingga di Jakarta, dia sudah tidak lagi bergaul dengan teman-temannya yang dulu, ketika ia masih sering nongkrong bareng di klub.
“Gue kalau di Jakarta, hangout sendirian. Kadang gue mikir, coba kalau gue punya pacar, pasti gak akan kesepiaan. Tapi apa boleh buat, gue bukan cuma gak boleh jatuh cinta lagi ke lelaki lain, tapi gak boleh bergaul dengan siapa pun.“
Pernah suatu ketika, Echa berpikir ingin memiliki anak, agar hidupnya tidak kesepian. Tetapi keinginannya itu ditolak mentah-mentah oleh Hendrik. Alasannya, jika Echa hamil, ia takut dirinya tidak cantik lagi. “Alasan lainnya, Hendrik sudah memiliki anak. Jadi buat dia, bukan anak yang diinginkan dari gue, tapi tubuh gue.â€
Begitulah, diakui Echa, penyesalan memang selalu datang di akhir. “Gw nyesel ambil keputusan sejauh ini. Ternyata hidup kayak gini tu gaenak. tersiksa,ga bebas. tp mau ga mau gw harus kuat demi keluarga dan hidup gw. gw ga m au sampe harus balik lagi ke kehidupan gw yg dulu,†tulis Echa dalam pesan WhatsApp-nya, Minggu (24/4) malam, pukul 20.35 WIB.
Diakuinya, keinginannya menikmati hidup normal dirasa sangat sulit. Jangankan keinginan memiliki anak, atau memiliki dan bergaul dengan teman-temannya, bahkan untuk sekadar bertemu sang ibu dan adik-adiknya di Sukabumi pun, sangat sulit ia lakukan.
Terkadang muncul keinginan untuk mengakhiri semua itu, di benaknya, agar tidak perlu ada yang ditutupi dan dirahasiakan lagi. Tapi keinginan itu terpaksa harus ia tahan, entah sampai kapan.