SUKABUMIUPDATE.com - Tim mahasiswa Institut Teknologi Bandung membuat alat bernama Integrated Carbondioxide Hazard Alert System (ICHAS). Alat tersebut dibuat untuk mendeteksi ancaman gas karbondioksida (CO2) yang bisa membunuh, terutama orang. Inovasi tersebut menjadi kampiun di ajang Tokyo Tech Commitment Award (TICA) 2016.
Tim yang beranggotakan mahasiswa Teknik Geologi serta Teknik Fisika 2012 dan 2013 itu meraih juara pertama di kelompok peningkatan kreativitas.
Anggota Tim ICHAS, Bintang Alfian Nur Rachman mengatakan, alat tersebut telah diuji coba pada Juli 2016 di Dieng, Jawa Tengah. ICHAS berhasil mendeteksi kemunculan gas CO2 antara 400-500 part per milion (ppm).
"Itu masih aman, kalau lebih dari 500 ppm alat akan mengeluarkan bunyi sirine," kata dia, Ahad, 5 Maret 2017, di sela pameran produk inovasi di Aula Barat ITB.
Gas CO2 itu berasal dari aktivitas volkanik pegunungan Dieng. Pada ruang terbuka, gas bisa menguap. Namun pada daerah yang juga dihuni penduduk, gas tersebut bisa membunuh jika melebihi ambang batas aman 500 ppm.
"Korban jiwa berjatuhan di Dieng, karena gas ini tidak terlihat dan tidak berbau," ujar mahasiswa Teknik Geologi itu.
ICHAS dipasangi sensor CO2 untuk mendeteksi kehadiran gas itu. Karena massa gas itu lebih berat daripada udara, ia mengalir dekat permukaan. "Kalau terkena uap air jadi seperti aliran sungai bergeraknya," kata anggota lain, Ardinda Kartikaningtyas, mahasiswi Teknik Fisika 2013.
Hasil tangkapan sensor itu dikelola oleh controller Arduino. Kadar gas CO2 kemudian ditampilkan di layar monitor kecil, kemudian juga dikirimkan oleh pemancar (transmitter) lewat gelombang radio ke alat penerima (receiver) yang berada di pos pengamatan. "Data pantauan gas dikirim terus menerus secara real time," kata Ardinda.
Antara alat dan pos pengamatan yang bisa berjarak dalam hitungan kilometer, perlu dipasang repeater. Gelombang radio dipilih karena sinyal GSM (Global System for Mobile Communications) yang biasa digunakan telepon seluler kurang bisa diandalkan di daerah pegunungan.
Meskipun tidak memakai solar panel untuk menjaga daya kerja alat, mereka mengklaim baterai yang dipakai cukup untuk bertahan sebulan, setelah itu diganti baterai cadangan.
Jika kadar gas CO2 melampaui 500 ppm, alat secara otomatis mengeluarkan peringatan. Sirine akan berbunyi, dan lampu menyala merah. Mereka pun menambah lampu rotator sebagai pelengkap peringatan bahaya.
"Sirine dan lampu dipasang di daerah pemukiman warga serta jalan," kata Bintang. ICHAS ditempatkan di sekitar sumber keluarnya gas dari aktivitas volkanik seperti kawah gunung.
Peringatan dini itu bertujuan agar penduduk waspada menghadapi aliran gas CO2. Biasanya, kata Bintang, warga menggunakan handuk basah untuk menangkal sementara agar gas tak terhirup. Langkah utamanya, warga harus dievakuasi.
Sumber: Tempo