SUKABUMIUPDATE.com - “Kang ayo dong maen sama kita,†ujar salah seorang waria yang sering mangkal di Jembatan Leuwigoong, Kelurahan/Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi setiap malam. Leuwigoong, sejak dahulu memang dikenal sebagai salah satu lokasi mangkal kaum waria (pria berpenampilan wanita).
Seperti pada Selasa (10/1) malam, sukabumiupdate.com bertemu salah seorang dari mereka, mengaku bernama Dewi Sulastri (35). Walaupun nampak ragu, Dewi akhirnya mau bercerita sekelumit perjalanan hidupnya.
“Udah sekitar lima tahunan jadi waria mangkal. Sebelumnya kerja tanpa gaji dari salon ke salon aja,†ungkap Dewi memulai pembicaraan sembari mengepulkan asap rokok ke sisi kanan tempatnya berdiri, di pinggiran Jalan Raya Suryakencana.
Dewi berkisah, sebenarnya dia tidak mau mangkal seperti itu, namun apa daya, karena memang tidak memiliki keahlian khusus untuk bekerja di salon, mangkal menjadi pilihan terakhir pekerjaan yang harus dijalani.
“Saya hanya bantu-bantu aja di salon teman, kalau lagi sepi pelanggan, nggak dapet komisi. Nggak ada sistem gaji, karena salon kecil-kecilan,†lanjut Dewi yang mengaku tinggal di wilayah Cibadak.
Dari salon, pemilik kulit cokelat, tinggi 165 centimeter dan berat sekira 60 kilogram itu, memulai kehidupan barunya, dunia malam di ujung jembatan peninggalan Hindia Belanda itu.
Dalam ketidakpastian, setiap malam ia berharap tamu datang menawar jasanya. Namun diakuinya, pekerjaan itu pun, makin hari kian tidak menjanjikan. Sehingga tidak heran jika ia sering tidak mendapat uang sepeser pun, karena tidak ada satu pun pelanggan datang.
“Penghasilan paling besar lima puluh ribu rupiah sampai pagi. Tapi sekarang lebih sering kurang dari lima puluh ribu,†ujar Dewi.
Dewi enggan berbicara lebih jauh tentang jasa yang ditawarkannya. Ia memilih mencurahkan isi hatinya, perasaan jengkelnya, karena keberadaan mereka kerap menjadi sasaran iseng sekelompok remaja bermotor yang melintas.
“Sekarang ngeri, malam Minggu banyak yang jahil, lempar batu dan air kencing dalam botol atau plastik. Nggak tahu siapa. Mereka banyakan, kita juga jadi takut, saya mencari makan. Sakit hati digituin,†lanjutnya.