Oleh: Anisa Siti Rizkia
Hampir sepuluh tahun perjalanan pernikahanku dengan Jordan, lelaki yang usianya terpaut sembilan belas tahun lebih tua dariku. Meski pernikahan kami telah dikaruniai seorang putra yang sangat tampan dan lucu, tapi aku sama sekali tidak mencintainya.
Entah mengapa Jordan justru begitu mencintaiku, sebagai seorang suami dia sangat luar biasa, caranya bicara dan bersikap selalu membuatku merasa istimewa, tapi meski begitu tetap saja cinta tak kunjung tumbuh di hatiku, yang ada aku selalu membalasnya dengan perlakuan yang begitu buruk, bahkan tak jarang aku memperlihatkan sikap benci dan tak pernah menghormatinya.
Jika bukan karena pengabdianku pada mendiang ibu, dan jika bukan karena kebaikan Jordan pada keluargaku di masa lalu, mungkin aku tak akan memilih hidup bersamanya saat ini, bahkan untuk mengenalnyapun aku tak mau. Tapi takdir mengantarku pada situasi ini, di mana aku harus menjadi istri dari seorang pria yang sama sekali tak pernah kukehendaki.
***
Sejak menikah dengan Jordan hidupku memang berkecukupan, dia kian tinggi mengangkatku dari situasi dan masa-masa sulit baik dalam segi finansial maupun strata sosial, aku yang kala itu hanya gadis remaja miskin, kini menjelma menjadi seorang sosialita dan memiliki kelas terpandang di masyarakat, aku kian dihormati dan disegani oleh berbagai kalangan, tapi tetap saja situasi itu tak kunjung membuat cinta tumbuh di hatiku.
Jordan memiliki karir yang sangat cemerlang, bisnis propertinya berkembang di banyak daerah. Karena itu dia bisa dengan mudah memberikan semua yang kuinginkan, bahkan barang-barang mewah dengan harga yang gilapun selalu dia upayakan untukku, aku tak pernah memperdulikan perjuangnya mencapai kesuksesan, yang kutahu Jordan memiliki harta yang berlimpah dan sudah sewajarnya aku ikut menikmatinya mengingat pengorbanan besarku sudah mau menikahinya.
***
Aku tak pernah memasak untuknya, atau menghidangkan secangkir kopi pun aku enggan. Semua pekerjaan rumahtangga dikerjakan oleh pembantu, tapi kadang untuk sarapan, Jordan selalu membuatnya sendiri, bahkan mengÂhidangkannya untukku dan Ramon, putra semata wayang kami. Jordan memiliki tabiat yang baik, dia tak pernah memarahiku meski sudah kubuat kesal. Banyak kata-kata kasar yang keluar dari mulutku tapi tak kunjung membuatnya jenuh mengasihiku, dia bahkan terlampau memanjakanku.
Entah sampai kapan aku mampu mempertahankan hubungan ini, kaÂdang aku didera lelah hidup seatap dengan suami yang bagiku tak lebih dari orang asing, wajahnya yang kian menua kadang membuatku merasa jauh lebih pantas menjadi anaknya daripada seorang istri.
***
Hari ini seperti biasa aku menghabiskan waktuku di salon langgananku bersama teman-teman, memanjakan diri sambil menunggu Ramon pulang sekolah karena aku yang selalu menjemputnya setiap hari, saat hendak membayar aku baru sadar jika dompetku tertinggal, segera kuraih ponsel dan mencari kontak Jordan, aku segera menghubunginya.
“Iya kenapa sayang?†sapa Jordan halus di ujung sana.
“Dompetku ketinggalan di kamar kayaknya, bisa ambilin?â€
“Iya bisa, tapi papa tunggu jam istirahat ya, lagi meeting soalnyaâ€
“Aku gak mau tau, pokoknya aku mau dompet aku sekarang.â€
“Tapi sayang...â€
Telpon sudah kuputus sebelum Jordan sempat menyelesaikan perkataanya. Begitulah sikapku terhadapnya, egois dan tak pernah memikirkan perasaanya. Tapi aku tak merasa bersalah, toh dia tak pernah protes dengan sikapku, berarti dia nyaman-nyaman saja, aku selalu berpikir begitu.
Dua jam berlalu, Jordan belum kunjung datang, padahal kantornya dengan rumah kami hanya mengabiskan waktu sekitar 10 menit dan menuju salon tempatku berada paling hanya butuh waktu setengah jam itupun bila sedang macet. Jordan membuatku naik pitam, segera kuraih ponsel dan kembali menghubunginya.
“Papa di mana sih? Mama udah waktunya jemput si Ramon nih.â€
“Sebentar sayang, papa kena macet.â€
“ Aku gak mau tau, papa harus cepet nyampe sini.â€
“Ya sudah papa cari ojek saja ya.â€
“Terserah, pokoknya sepuluh menit lagi harus nyampe.â€
“Iya mah tapi mobil papa susah keluar dari jalur, di depan dan belakang banyak truk besar.â€
“Bukannya kamu bilang itu lagi macet kan? Nyalip dikit kenapa sih? Heran jadi laki penakut amat.â€
Sial, di tengah ocehanku justru dia yang memutus telponnya. Aku semakin emosi dan kembali menelponnya tapi tak ada jawaban. Sampai sejam kemudian Jordan tak kunjung datang, Aku kembali menghubunginya dan ternyata bukan Jordan yang mengangkat telponku, tapi seorang wanita!
Aku semakin jengkel, banyak pertanyaan dengan segera menyentil benakku, wanita itu sedang apa bersama Jordan? Tak kusangka ternyata dia seorang dokter, dia mengabarkan suamiku sudah tiada karena nekat memutar arah dan melajukan mobilnya di jalur berlawanan hingga akhirnya terhantam sebuah truk dan meninggal di tempat.
Aku membisu, entah harus bicara apa. Aku hanya mengucapkan terimaÂksih kepada dokter itu karena sudah mengabariku, akupun berjanji segera menjemput jasad Jordan pulang untuk mengurus pemakaman.
***
Jasad Jordan tergeletak di hadapanku, dikelilingi para tetangga yang datang melawat dan melangsungkan pengajian. Tak ada setetes tangispun diujung mataku, aku hanya mematung dengan bibir bergetar masih tak percaya ini terjadi, sementara di sampingku Ramon menangis sesenggukan. Perlahan kudekatkan wajahku pada Jordan.
Aku tak pernah menatap wajah Jordan dengan jarak sedekat ini, dia terlihat begitu tampan dan bersahaja, matanya terpejam begitu damai, aku langsung menyadari bahwa Jordan tak akan pernah kembali membuka matanya, seketika aku menjerit histeris, menangis meraung-raung lalu terkulai lemas di lantai, para pelawat dan anggota keluarga Jordan segera menenangkanku.
Jordan sudah dikuburkan, air mata masih berlinang di balik kaca mata hitamku, kini Jordan bersemayam di balik gundukan tanah itu, kuraba batu nisan yang mengeja namanya, ya Tuhan, aku baru menyadari bahwa aku begitu mencintainya.
Aku menggenggam erat tangan Ramon, dia hadiah sekaligus kenangÂan terindah yang telah Jordan berikan dalam pernikahan kami, entah apa yang berkecamuk dalam hati Ramon menyadari kini dia telah menjadi anak yatim, dan aku ibu durhaka yang sudah membuat ayahnya meninggal dengan tragis.
***
Masa berkabungku tak kunjung usai, aku lebih banyak menghabiskan sepanjang hariku dengan menangis di kamar. Sampai pada hari ke sembilan Jordan meninggal, seorang notaris mendatangi kediamanku, dengan malas kupersilakan dia masuk.
Notaris itu memberikan begitu banyak dokumen bisnis milik Jordan yang sudah dibalik namakan atas namaku, juga berbagai macam klaim tabungan dan asuransi yang sudah Jordan siapkan untuk masa depanku dan Ramon.Selama ini Jordan menyiapkan semua sejauh itu.
“Semua sudah dipersiapkan oleh bapak Jordan dengan sangat baik, pantas saja ibu terlihat begitu terpukul atas kepergian beliau, bapak memang pria yang sangat mencintai keluarga,†ucap Notaris itu
“Kami memang saling mencintai, terlalu saling mencintai,†jawabku getir.
“Silakan dibuka bu, semua uang milik bapak sudah dicairkan. Dan ini ada surat juga.â€
Aku kembali dibuat mematung oleh Jordan, rupanya kematian hanya membuat jasadnya berpindah tempat, tapi tidak dengan hati dan cintanya padaku, dia masih begitu mencintaiku bahkan setelah kepergiannyapun dia masih menyediakan cintanya untuk masa depanku.
Aku bodoh, aku terlambat mensyukuri kehadiran Jordan dalam hidupku selama ini, tapi aku berjanji akan menebusnya, aku akan selalu mencintainya dan tidak akan pernah membagi cintaku pada siapapun lagi di masa depan, sampai Tuhan memanggilku dan mempertemukanku kembali dengan Jordan di kehidupan selanjutnya.
***
Surat dari Jordan:
Virna sayang, maaf aku perginya mendadak..tapi kamu jangan takut aku sudah mempersiapkan diri
Maaf selama ini aku selalu merepotkan dan membuatmu kesal, semua karena keterbatasanku
Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kamu bayangkan, terimaksih sudah mau menemaniku
Aku tau kamu istri yang baik, mungkin kamu belum sempat menunjukannya
Aku tetap mencintaimu, aku titip Ramon ya sayang..jaga dia seperti aku selalu menjagamu
Sampaikan padanya bahwa aku juga sangat mencintainya.
With Love
Jordan Adiyaksa.