SUKABUMIUPDATE.COM - Penunjukan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri kepada Perusahaan Terbatas Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) yang berstatus BUMN (badan usaha milik negara) untuk merealisasikan impor perdana satu kontainer cangkul untuk diperdagangkan di Indonesia, disesalkan Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Heri Gunawan.
"Kalau cangkul saja musti impor, apa kata dunia? Ini seperti tanda-tanda, lonceng kematian kedaulatan pangan yang bukan semata-mata soal konsumsi yang berdaulat, tapi juga soal kedaulatan produksi," kata politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini kepada sukabumiupdate.com, Senin (31/10).Â
Dari konteks kedaulatan produksi pangan, wajib hukumnya pemerintah, termasuk BUMN, mengokohkan industri penopangnya seperti indusri alat-alat dan mesin pertanian dalam negeri. Memproduksi cangkul itu tidak perlu harus ke luar negeri. Bengkel-bengkel di Indonesia banyak yang bisa bikin.
"Ada cara berpikir yang sesat di BUMN kita selama ini. Tugas BUMN itu bukan hanya cari untung saja, tapi ada tugas penting lain, yaitu menjadi agen pembangunan. Seharusnya, pemerintah dan BUMN punya komitmen yang sama, bagaimana menerjemahkan agen pembangunan lebih konkret di lapangan. Dengan mengimpor cangkul, bukannya membangun malah membunuh indusri alat-alat pertanian lokal," cetus ayah tiga anak ini.
"Coba bayangkan, jika kebutuhan cangkul yang 40-50 kontainer per bulan itu diserahkan kepada industri-industri lokal, ada berapa banyak industri lokal yang bisa bangkit? Ada berapa banyak nantinya bengkel-bengkel kita di dalam negeri yang kebanjiran order? Ujungnya, ada berapa banyak orang-orang lokal yang bisa berdaya?"
Lebih lanjut, pria yang akrab disapa Hergun ini menjelaskan, kebutuhan cangkul itu mestinya menjadi peluang sekaligus stimulus untuk membangkitkan industri-industri penopang kita. Itu ekonomi riil.
Dari data yang ada, alat pertanian hasil produksi lokal baru 30 persen. Dengan tingkat kebutuhan yang tinggi karena lahan pertanian kita mencapai lebih dari 1,9 juta km persegi. Maka harusnya ini secara simultan menjadi peluang untuk menggerakkan industri-industri alat pertanian lokal untuk terus berdaya.
Terlebih menurut Hergun, aturannya sekarang ini sekitar 40-80% tingkat kandungan dalam negeri. Jadi tidak ada alasan yang kuat untuk importasi. Importasi justru harus dipandang sebagai jalan yang sesat dan menyesatkan.
"Pemerintah musti berpikir lebih arif lagi. Tanpa itu, maka anggaran, khususnya untuk ketahanan pangan, yang terus ditingkatkan lebih dari 70 persen itu, tidak akan benar-benar efektif. Akan terus menguap, hilang, dan mengalir ke luar negeri. Sedang kita hanya akan disisakan oleh masalah kedaulatan pangan yang setengah hati," tandasnya.