SUKABUMIUPDATE.COM - Semua orang pasti tahu Cicurug! Ya, sebuah kota kecamatan di bagian Utara Kabupaten Sukabumi ini menjadi homebase untuk puluhan pabrik berskala nasional dan internasional. Dari mulai pelbagai produsen air mineral dalam kemasan, pabrik-pabrik produsen food and beverage, sampai puluhan pabrik garmen berbasis di Cicurug.
Sebenarnya Cicurug juga menyimpan berbagai potensi lain. Salah satunya adalah kompleks situs megalitikum Batu Kujang, peninggalan abad ke-80 M, sebagai potensi wisata yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Namun, orang Cicurug lebih mengenal tepat tersebut dengan nama Batu Jolang. Sebenarnya Batu Jolang dan Batu Kujang adalah bagian dari kompleks persitusan yang berada di Kampung Tenjolaya Girang, Desa Cisaat, Kecamatan Cicurug. Beberapa batu lainnya adalah Batu Mayit, Batu Garuda Ngupuk, dan Batu Kandang Sapi.
Batu Jolang berada di lereng kaki Gunung Salak di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (dpl), dan bisa diakses sampai lokasi dengan kendaraan roda dua. Jalur yang bisa ditempuh melalui Desa Bangbayang, terus naik menuju Desa Cisaat.
Perjalanan sampai lokasi menggunakan kendaraan roda dua sekitar 45 menit sampai satu jam. Tiba di lokasi, Anda akan disambut oleh udara yang sejuk, ditambah semilir angin yang menyegarkan. Anda juga bisa camping di Batu Jolang.
Bentuk lahannya terbagi menjadi dua, dengan bagian pertama yang terletak di bagian timur situs, dan bagian kedua di bagian barat situs. Kedua bagian itu dibatasi oleh tanggul batu.
Penemuan paling penting ada di teras tertinggi di mana terdapat struktur batu melingkar berdiameter dua meter yang di tengahnya terdapat menhir dengan bentuk menyerupai kujang setinggi 208 centimeter (cm). Masyarakat setempat menyebutnya Batu Kujang.
Di sebelah timur batu kujang terdapat menhir berukuran tinggi 52 cm. Di teras ini pula terdapat batu alam berjajar. Tinggalan lain di teras ini adalah batu jolang berukuran 180 cm x 107 cm dengan kedalaman lubang 14 cm. Yang lebih unik, di lokasi ini juga terdapat batu alam berukuran 180 cm x 75 cm yang oleh masyarakat disebut Batu Mayit.
Di area situs ditemukan sejumlah batu menhir dan dolmen yang tersebar di atas punden berundak. Di sisi selatan punden ini ditemukan struktur batu menyerupai anak tangga yang diduga sebagai jalan masuk utama ke kompleks pemujaan ini.
Pada teras tertinggi, di atas struktur susunan batu melingkar berdiameter 6 m, terdapat menhir setinggi 2,08 m dengan ketebalan 17 cm. Menhir ini menyerupai kujang yang berdiri tegak dengan lebar bagian atas 8 cm, bagian tengah 66 cm, dan bagian bawah 44 cm.
Sejumlah ahli arkeologi menduga bahwa tidak tertutup kemungkinan bahwa bentuk kujang yang kini menjadi senjata khas masyarakat Sunda diambil dari bentuk peninggalan ini. Dugaan itu berdasarkan sejumlah peninggalan di sekitar Batu Kujang yang menyerupai senjata tajam masa kini seperti mata bajak, kapak, dan sabit.
Dua teras di bawah Batu Kujang misalnya, terdapat tiga batu menhir berbentuk pipih dan tajam di bagian atas. Sebuah batu menhir setinggi 130 cm diapit oleh dua batu menhir yang masing-masing setinggi 53 cm dan 89 cm. Dari kejauhan, ketiga menhir ini berbentuk seperti mata trisula yang tertancap di sisi selatan punden.
Legenda dan Aura Mistik Batu Jolang
Tak banyak cerita yang bisa digali mengenai sejarah dibuatnya Batu Jolang. Namun kuatnya pengaruh legenda Prabu Siliwangi membuat masyarakat sekitar percaya bahwa Batu Kujang merupakan simbol dari tokoh legendaris itu. Bahkan, tempat ini disebut-sebut sebagai salah satu basis pertahanan Sang Prabu dengan patih dan prajuritnya. Meski demikian dalam penelitian arkeologi, di sekitar situs ini tidak ditemukan perkakas yang menandai adanya perkampungan pada masa itu.
Versi lain menceritakan, dahulu kala Batu Jolang adalah sebuah padepokan yang dihuni oleh puluhan Resi. Para pembesar di kerajaan Paran Siliwangi (cikal bakal kerajaan Taruma Negara dan Padjajaran) meminta masukan dan nasehat tentang urusan kenegaraan kepada para resi.
Suatu ketika, para Resi kedatangan tamu agung bernama Shanghyang Nagandini. Nagandini membawa tiga bayi mungil yang ia titipkan untuk dididik oleh para Resi. Para Resi menerima permintaan Nagandini dengan suka cita dan memandikan ketiga anak itu di Batu Jolang.
Para Resi lalu memberi nama ketiga anak itu Taji Malela, Surya Kancana dan Balung Tunggal. Kelak ketiga anak itu akan menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Sunda.
Terlepas benar atau tidak cerita di atas, juru kunci Abah Uci, mengakui bahwa Batu Jolang memiliki aura mistik yang besar. “Kalau setiap malam Jum’at saat bulan penuh, saya sering mendengar seperti suara gerbang dibuka,†kata Abah Uci yang kini ditemani oleh anaknya Wawan sebagai juru kunci. Keduanya telah resmi menjadi pegawai Dinas Kepurbakalaan Kabupaten Sukabumi.
“Kami juga sering mendengar suara-suara seperti orang berdoa pada malam-malam tertentu,†ujar Wawan seraya menambahkan banyak tamu dari berbagai daerah di Indonesia bahkan dari luar negeri mengunjungi Batu Jolang.
Apapun itu, Abah Uci dan Wawan tak pernah takut dan selalu berprasangka baik bahwa siapapun yang membuat Batu Jolang adalah karuhun (nenek moyang) yang tak akan mencelakakan cucunya. Malah sebaliknya, Abah Uci mengingatkan agar kita melestarikan peninggalan nenek moyang. “Kalau tidak ada mereka, kita juga tidak akan ada kan,†tegas Wawan.
Penasaran dengan Batu Jolang? Silakan beramai-ramai mengunjunginya!