SUKABUMIUPDATE.COM - Bagi sebagian besar masyarakat Jawa Barat,  terutama di  pedesaan, dan sempat merasakan  masa keemasan radio sekira tiga puluh tahun ke belakang, adalah era radio transistor berjaya memancarkan gelombang AM (amplitude modulation). Â
Saat itu, radio adalah satu-satunya media yang diandalkan untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Tak terkecuali bagi anak-anak desa yang tidak terjamah teknologi dan jarang pergi ke kota untuk memainkan ding-dong dan belum mengenal Nintendo.
Salah satu hiburan paling disukai adalah dongeng Sunda. Ceritanya sangat menghibur dan membuat penasaran, sekaligus membumi. kelanjutan ceritanya selalu ditunggu-tunggu karena dongeng seringkali berakhir dalam satu episode, saat cerita sedang seru-serunya.
Cerita dalam dongeng Sunda yang biasanya disiarkan sore hari, akan menjadi pembicaraan hangat anak-anak dan orang tua pada keesokan harinya. Baik di sekolah, tempat bermain, dan di tempat kerja.
Cerita dongeng seringkali jadi bahan pembicaraan mereka, tokoh-tokoh dalam dongeng didiskusikan dan tak jarang  prediksi-prediksi tentang kelanjutan dan ending cerita mereka reka-reka sendiri. Alhasil, bagi yang tertinggal beberapa episode pun masih bisa tahu jalan ceritanya.
Kerinduan akan dongeng Sunda dirasakan Rudi Iriandi (45) asal Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi yang sudah 26 tahun merantau dan berdomisili di pulau Sumatera seperti Jambi dan Pekanbaru. Kepala Perwakilan maskapai Garuda Indonesia di Tanjung Pinang Kepulauan Riau ini mengaku, gegara cerita mengenai Mang Dina tayang di sukabumiupdate.com, ia merasa seperti kembali ke masa-masa kecil saat menggandrungi dongeng Sunda.
“Asa kasuat-suat deui kana dongeng sunda, malah sim kuring tos lami pisan milarian link yang bisa mengobati rindu saya sama pendongeng lainnya seperti  Jamar Media. Sono pisan! upami aya dongeng sunda di radio pasti abdi ngadangukeun da puluhan tahun teu pernah deui, sejak TV swasta mulai merajalela," terang Rudi seraya terbahak. "Sejak SD (sekolah dasar-red) tahun 1980-an, sudah mendengarkan dongeng," imbuhnya.
Awal nya, aku Rudi, ia hanya ikut-ikutan orang tua stel Radio. "Radio zaman Baheula yang masih MW (Medium Wave) sagede galabag, waktu itu pesawat televisi masih barang langka, kalaupun ada, layarnya masih hitam putih. Dengerin radio saja sambil ngabuburit oge saat puasa. Cerita nyambung menyambung, saat jam siaran yang saya tunggu adalah Si Jeki, Si Gangga, dan lain lain,†Rudi terkenang masa kecilnya ketika berbincang dengan sukabumiupdate.com, Selasa (18/10).
Sebagai penggemar dongeng Sunda Rudi mengaku salut atas salah satu pendongeng legendaris di Sukabumi, ia mengatakan bahwa  dedikasi Mang Dina belum ada yang menyamai. Menurutnya, Mang Dina punya komitmen terhadap profesi hingga kini, "moal aya sigana ayeuna mah nya yang seperti Mang Dina? upami ayana ge meureun hese."
Lain halnya dengan Ade Irawan (43), wiraswastawan mantan jurnalis yang berdomisili di Kecamatan Nagrak ini mengatakan, hingga kini ia masih sering mendengarkan dongeng Sunda yang menarik untuknya adalah dongeng Sunda gaya Sukabumian dengan iringan Kacapi Suling sebagai latar.
“Maestronya ya bapak yang satu ini (Mang Dina-red), ketika dongeng sunda gaya Bandungan atau gaya Priangan berciri latar musik  degungan  berekspansi ke Sukabumi lewat cerita Wa Kepoh dengan si Rawing-nya, dongeng sunda Sukabumian mulai tersaingi. Tetapi secara teknis, Mang Dina jawaranya,  terutama dalam mendeskripsikan adegan perkelahian yang seru diiringi lengkingan terompet dan gendang pencak,†tutur Ade.
Radio elektronik semakin canggih, bahkan radio streaming menjamur di mana-mana, namun belum ada satupun yang menggarap dongeng Sunda yang penuh romantika sebagai programnya. Setidaknya sebagai pelipur kangen bagi para perantau yang rindu kampung halaman, Sukabumi.