SUKABUMIUPDATE.COM - Apakah Anda sering mendengarkan radio, terutama radio-radio yang berada di wilayah Jawa Barat? Radio-radio yang dimaksud adalah radio yang memiliki format multi segmen dengan positioning “Semua Ada di Siniâ€.
Radio multi segmen ini memiliki varian acara yang cenderung gado-gado; memutar lagu-lagu dangdut, pop, barat, etnik musik, request season lengkap dengan kirim-kirim salam, punya program wayang golek, jaipongan, dan dongeng Sunda.
Dongeng Sunda pernah berjaya pada masa keemasan radio-radio di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, antara pertengahan tahun 1970-an hingga awal 2000-an. Di era ini, dongeng Sunda cukup mendapat tempat di hati masyarakat pecinta seni tradisional.
Selain sebagai cerita yang menghibur, di dalam dongeng Sunda juga banyak terkandung pesan moral, nilai-nilai kearifan tradisional, tokoh fiktif semacam “Super Hero†yang bisa jadi panutan. Dan tak jarang dalam dongeng Sunda secara deskriptif menjelaskan bahwa kejahatan lambat laun akan kalah oleh kebaikan.
Salah seorang pendengar dongeng Sunda Yulia Rachmawati (41) yang berdomisili di Gang Tholib, Cibadak mengatakan, dongeng Sunda tidak melulu bercerita, tetapi banyak hal positif disampaikan, layaknya sebuah media untuk memahami bahasa Sunda, menemukan kosa kata baru, yang sebelumnya tidak diketahui oleh pendengar. Rangkaian kalimat dalam bahasa Sunda pun kaya akan unsur artistik.
“Jadi bagi saya sendiri, (dongeng Sunda) merupakan sebuah hiburan sekaligus pengetahuan. Pendongeng seperti Mang Dina aset daerah lho, bahkan aset bangsa yang harus diperhatikan. Menurutku, beliau seharusnya mendapatkan apresiasi dalam mempertahankan seni Sunda, dari berbagai pihak terutama instansi-instansi yang terkait seni dan budaya lah,†Yulia berpendapat.
Adalah Edi Suhaedi yang lahir pada November 1953, alias Mang Dina Mara, satu dari dua pendongeng Sunda (selain Mang Dedi) yang tersisa di Sukabumi dan masih aktif mendongeng di SMS FM Sukabumi, ia masih setia dengan profesi lawasnya sebagai pendongeng Sunda hingga hari ini.
Saat sukabumiupdate.com, menyambangi kediamannya di Cipelang Leutik, pada usianya yang sudah 63 tahun, tak menjadikan Mang Dina kehilangan energi. Badannya masih tegap, gagah dan awet muda, sama seperti ketika sepuluh tahun yang lalu, ia masih terlihat aktif dengan berbagai kesibukannya di antaranya mendongeng dan mendatangi undangan ceramah keagamaan di berbagai tempat.
“Dalam dongeng Sunda itu, walaupun cuma karangan ada filosofi hidup, ada proses penyampaian pesan moral ke pendengar, ada unsur kepahlawanan yang Ki Leuksa atau K. Sukarna (pengarang cerita) sisipkan, sok geura emut-emut masih inget teu carita Bah Lemud, Si Ronyok, Si Riweuh?†Jelas Mang Dina Mara sambil bertanya.
“Kebetulan hari ini sedang tidak ada jadwal jadi khotib, jadi santai saja sampai menjelang Jumatan kita ngobrol-ngobrol. Pendengar carita Sunda di zaman sekarang sudah banyak berkurang, apa lagi hanya berada di tataran daerah, sulit berkembang†Mang Dina melanjutkan obrolan bersahajanya dengan santai.
Ia menuturkan, kemajuan zaman dan kemajuan teknologi telah menyita perhatian masyarakat misalnya infiltrasi TV, mampu mengalihkan pandangan kita dari sedang membaca buku beralih ke berita infotainment. Tayangan stasiun televisi yang beragam secara visual, pada akhirnya lebih menarik perhatian.
Mang Dina menekuni profesinya sebagai pendongeng sejak Juli 1976. “Sebetulnya saya berangkat dari profesi penyiar, kalau dulu saya penyiar juga, mendongeng juga, tapi kan sekarang harus bagi-bagi jatah biar yang lain kebagian,†seloroh Mang Dina.
Ia juga mengatakan, ada tanggung jawab moral dalam upaya melestarikan bahasa Sunda yang kini mulai jarang digunakan oleh sebagian masyarakat Sunda itu sendiri, bahkan Mang Dina berharap ada regenerasi yang bisa melanjutkan keberadaan para pendongeng Sunda yang kini jumlahnya tinggal hitungan jari.
Di Sukabumi pernah tercatat nama-nama pendongeng selain Mang Dina dan Mang Dedi seperti Mang Komar. Di Tataran Pasundan secara keseluruhan ada nama-nama pendongeng Sunda lainnya yang cukup beken seperti Mang Jaya, Wa Kepoh, Jamar (lebih ke monolog Humor, mirip stand up comedy), dan lain-lain.
“Sebetulnya saya sudah jemu mendongeng tapi susah nang cari gantinya, siapa yang mau meneruskan jadi pendongeng Sunda? Pernah ada yang ingin belajar dan datang ke saya, saya sodorin buku ceritanya dia nggak sanggup bacanya. Mungkin karena tulisan bahasa Sunda, walaupun dengan huruf latin bagi yang tidak terbiasa membaca akan sulit. Terutama membedakan baca huruf E dan E bunyinya lain, ada EU,†Ia menjelaskan.Sulitnya lagi pendongeng harus hafal berpuluh-puluh karakter suara dalam cerita dan tidak boleh tertukar, kemudian intonasi, penghayatan dan pergantian suara dari satu tokoh ke tokoh lain perlu kemampuan yang tidak biasa.
Namun, meskipun demikian, di tengah gempuran perubahan yang semakin canggih dengan berbagai pilihan, dongeng Sunda masih memiliki penggemar setia. Mereka yang lahir di tahun 70-an dan 80-an, sesekali masih menanti dan mencari-cari frekuensi radio untuk mendengarkan story telling mengenai cerita Dedemit Gunung Warangas karya Ki Leuksa, Ngadu Jago (Ki Leuksa), Si Buraong (K.Sukarna), Den Kelana (K.Sukarna), Galura Laut Kidul (Ki Leuksa), Si Kulup dan lain-lain.
Namun, sampai kapankah dongeng Sunda akan bertahan di tengah gempuran zaman dan tanpa regenerasi pendongeng, tanpa penikmat, dan tanpa perhatian berbagai pihak?