Oleh:
Dr Hj Reni Marlinawati (Anggota Komisi X, DPR RI, Ketua Fraksi PPP 2014-2019)
SUKABUMIUPDATE.COMÂ - Pendidikan merupakan cara untuk membentuk manusia beriman dan bertakwa sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31, UUD 1945, namun faktanya cita-cita tersebut hingga hari ini masih jauh panggang dari api.Â
Tawuran antara siswa baik SMP maupun SMA tidak hanya terjadi di kota-kota besar, namun juga sudah merambah ke kabupaten/kota, Senin (12/9).Â
Belum lagi narkoba, seks bebas dan minuman keras dikonsumsi kalangan pelajar yang semakin meningkat. Berhasil atau tidaknya sebuah pendidikan tidak bisa dilepaskan dari metode yang dipakai untuk mendidik peserta didik.
Bertitik tolak dari realitas di atas ada baiknya kita bercermin dan mengambil pelajaran atau ibrah dari kisah nabi Ibrahim alaihi salam. Nabi Ibrahim yang sering kita ingat saat menjelang Idul Adha, di mana ada kisah Nabi Ibrahim yang mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih puteranya Ismail, yang kemudian kita peringati dalam Idul Adha.Â
Hal tersebut hanya sebagian kecil dari banyak kisah Nabi Ibrahim. Penerimaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail akan perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail tidak bisa dilepaskan dari metode pendidikan yang diterapkan Nabi Ibrahim.Â
Sedikitnya ada tiga metode pendidikan yang diterapkan Nabi Ibrahim dalam memberikan pendidikan kepada umatnya. Pertama, contoh yang baik atau keteladanan (uswah hasanah), kedua dialog, ketiga doa.Â
Metode Keteladanan.
Keteladanan Nabi Ibrahim dalam semua aspek kehidupan di abadikan Allah swt. “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim (al Mumthahanah:4). Â
Keteladanan yang melekat pada Nabi Ibrahim diawali dari aspek ketauhidan. Meski berbeda dengan lingkungan, mulai dari orang tua, masyarakat hingga raja, Nabi Ibrahim menyatakan secara lugas, “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah sajaâ€. (al Mumthahanah:4).
Meski secara terang-terangan Nabi Ibrahim menolak berhala untuk disembah, namun dalam menyampaikan ketauhidannya Nabi Ibrahim tetap santun dan menjaga akhlak, terutama terhadap orang tuanya. Hal ini bisa terlihat dari sikap Nabi Ibrahim yang selalu mendo’akan orang tuanya.“Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allahâ€. (al Mumtahanah: 4).
Selain itu, dalam keluargapun Nabi Ibrahim merupakan suami yang menjadi teladan bagi istri-istrinya dan anak-anaknya. Ketika usia Nabi Ibrahim sudah semakin senja, Sarah sebagai istrinya merasa khawatir kalau Nabi Ibrahim tak mempunyai keturunan, maka Sarah meminta Nabi Ibrahim untuk menikahi Siti Hajar agar mendapatkan keturunan. Setelah menikah dengan Siti Hajar, Nabi Ibrahim dikarunia putra yaitu Nabi Ismail alaihi salam. Â
Metode Dialog.
Terlepas dari kenabian Nabi Ibrahim, Ibrahim sejak kecil sudah mengalami dialektika dalam menentukan siapa Sang Pencipta semesta? Dalam proses dialektika Nabi Ibrahim menghadapi tahapan yang sangat sulit. Namun Nabi Ibrahim menyelesaikan dialektika ini dengan metode dialog. Orang pertama yang dihadapi Nabi Ibrahim adalah ayahnya sendiri yang merupakan pembuat dan penyembah patung. Nabi Ibrahim mempertanyakan Tuhan yang dibuat ayahnya sendiri, yang dalam pikirannya patung-patung tersebut tidak bisa mendengar, melihat dan memberikan manfaat apapun. Ayah Nabi Ibrahim tak berdaya untuk menjawab pertanyaan kritis dari Nabi Ibrahim.
Dalam pencarian siapa Sang Maha Kuasa di tengah para penyembah berhala, Nabi Ibrahim tidak hanya bertanya kepada ayahnya, namun juga Nabi Ibrahim mencoba untuk menyadarkan masyarakat penyembah berhala tersebut dengan memporakporandakan patung-patung yang ada yang menyisakan patung yang besar. Atas ulah Nabi Ibrahim, maka Nabi Ibrahim di sidang di hadapan para pembesar istana dan sang raja.Â
Kritisisme yang dilandasi ketauhidan yang dialami Nabi Ibrahim sejak masa kecil menjadi bekal Nabi Ibrahim saat menghadapi pengadilan para pembesar kerajaan dan sang raja.
Berdasarkan ketauhidan yang diartikulasikan dalam bentuk hipotetik yaitu patung-patung tersebut adalah benda yang tidak bisa mendengar, bicara apalagi member manfaat dan madharat, maka saat Nabi Ibrahim di Tanya siapakah yang menghancurkan patung-patung tersebut, Nabi Ibrahim menunjuk patung yang paling besar. Karuan saja para pembesar dan raja menjadi murka, “bagaimana mungkin patung yang tak dapat bergerak sama sekali dapat menghancurkan patung lainâ€. Statement inilah yang ditunggu-tunggu Nabi Ibrahim. “mengapa kalian sembah patung yang tidak bisa mendengar, bicara apalagi member manfaat dan madharat ?â€.
Selanjutnya, saat Nabi Ibrahim ditanya siapa Allah yang dipercayainya, Nabi Ibrahim menjawab dengan sesuatu yang konkrit yaitu “Allah adalah yang dapat menghidupkan dan mematikanâ€.Â
Sang raja tak mau kalah dengan mengatakan,â€aku juga dapat menghidupkan dan mematikanâ€. Lalu raja memanggil dua orang rakyatnya, kemudian atas perintah sang raja, algojo memenggal seorang rakyat dan membiarkan hidup yang lainnya. Nabi Ibrahim tak kehilangan akal dan mengatakan tak hanya itu, “Allah dapat menerbitkan matahari dari timur, dan menenggelamkan di barat, maka terbitkanlah matahari dari barat dan tenggelamkan di timurâ€. Kali ini sang raja terdiam, lalu murka dengan mengatakan,â€bakarlah Ibrahim !!!â€.
Demikian juga saat Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah untuk menyembelih Nabi Ismail. Nabi tidak sekonyong-konyong menyembelih Nabi Ismail, namun Nabi Ibrahim membuka dialog dengan Nabi Ismail, meski Nabi Ismail masih berusia remaja. “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahawa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya- Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.(QS. ash-Shaffat: 99-102).
Metode Doa.
Metode yang disampaikan di atas merupakan aspek ikhtiyari syariat manusia untuk mencapai keberhasilan. Aspek lain dari ikhtiyari haqiqat manusia untuk mencapai keberhasilan adalah doa. Sebab sebagus apapun metode yang dimiliki manusia tanpa ada intervensi dari Allah swt, maka manusia tak akan mendapatkan apapun.
Hal ini juga yang dilakukan Nabi Ibrahim saat mendidik keluarga dan umatnya. Doa Nabi Ibrahim terhadap dirinya dan anak cucunya, “Ya Tuhanku, Jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan Kami, perkenankanlah doaku.(Ibrahim: 40).
Doa dalam Islam merupakan hal yang sangat penting, sebab doa adalah komukasi langsung umat manusia kepada Sang Kholik. Apa yang diinginkan umat manusia bisa langsung dikomunikasikan kepada Allah swt. Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kupenuhi permintaanmu.†(al Mu’min: 60).
Menurut para psikologi doa merupakan kekuatan terbesar yang tersedia bagi seseorang dalam memecahkan masalah pribadinya. Kekuatan doa adalah manifestasi dari energi seperti halnya ada teknik ilmiah untuk pelepasan energi atom, maka ada prosedur ilmiah untuk pelepasan energi spiritual melalui mekanisme doa. Kekuatan doa tampaknya bahkan mampu menormalkan proses penuaan, meniadakan atau membatasi kelemahan dan kemunduran.
Kesimpulan.
Metode pendidikan yang diterapkan Nabi Ibrahim masih sangat relevan dengan kondisi kita saat ini. Kerusakan moral para pelajar kita saat ini tidak bisa dilepaskan dari teladan yang diberikan oleh para guru dan pemimpin bangsa ini.Â
Korupsi di tingkat sekolah, hingga para penegak hukum adalah contoh yang paling kasat mata yang dapat disaksikan oleh peserta didik.Â
Jika moral peserta didik ingin menjadi lebih baik, maka keteladanan dari para guru dan pemimpin elit bangsa adalah sesuatu yang mutlak.
Selanjutnya, baik pendidik maupun pemimpin bangsa ini harus membuka ruang dialog seluas-luasnya. Tidak boleh ada anak bangsa ini yang tidak mempunyai akses untuk menyampaikan pendapatnya. Keinginan untuk memisahkan diri di berbagai daerah tidak bisa dilepaskan dari tersumbatnya ruang dialog.
Last but not least, doa merupakan upaya yang dapat menembus batas ruang dan waktu. Kepasrahan kepada Allah swt adalah keteladanan yang paling baik dari Nabi Ibrahim saat dibakar maupun saat diperintah menyembelih anak Nabi Ismail alaihi salam.