SUKABUMIUPDATE.COM - Shinta, begitu saja saya panggil gadis berusia 19 tahun ini. Sekilas wajahnya mirip Cut Keke, pemeran Sinetron Bulan Bukan Perawan. Jujur, kalau gadis penyuka olahraga bola voli ini memiliki masalah begitu rumit.
Inti persoalan rumitnya maslah Shinta, sebenarnya ada pada dirinya sendiri. Bagaimana tidak, pada usianya yang baru menginjak 15 tahun, Shinta sudah menjadi pecandu rokok, alkohol, sekaligus kehilangan kegadisan.
Shinta menyulut rokok putih menthol faÂvoritnya terlebih dahulu, sebelum meÂmulai bercerita panjang lebar mengenai kisah hidupnya kepada Fery Heryadi dari sukabumiupdate.com.
“Tragis, padahal seharusnya gue biÂsa hidup bahagia dan berprestasi di seÂkolah. Tapi malah kehancuranku saat ini, justru dimulai dari bangku kelas dua esempe,†ungkap Shinta seperti tengah meÂnahan perih.
Beberapa saat setelah itu, Shinta meÂminta dibelikan minuman beralkohol. Tetapi penulis menolak. Akhirnya kami bersepakat memilih berjalan-jalan menuju sebuah tempat yang belum pernah diÂdatanginya.
Kami bersepakat melanjutkan obrolan keesokan harinya di salah satu tempat tujuan wisata yang terletak di tengah perkebunÂan sawit di Kecamatan Cikidang.
Pada sekitar pukul 12.30 WIB kami beÂrangkat bersama, dari tempat kos salah satu teman Shinta di sekitar Parungkuda. Hari ini Shinta nampak modis dengan busana dominan hitam dibalut atasan dengan nuansa merah. Mengenakan sepatu high heels dan tas mungil yang digengam bersamaan jaket berwarna putih gading.
Â
Anak Semata Sayang
Shinta lahir dari rahim seorang ibu berasal dari daerah Jampang, sedangkan sang ayah yang mantan preman Terminal Cibadak asal Kecamatan Nagrak. Bagi ibu Shinta, ini adalah pernikahan keduanya, setelah menyandang status janda. Sedangkan bagi Ayahnya, ini adalah pernikahannya yang ketiga kalinya.
Shinta kecil hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Meski tidak berleÂbihÂan, tetapi keluarga tersebut juga tidak pernah kekuarangan. Terlebih sang ibu juga bekerja di salah satu perusahaan garmen yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Selama duduk di bangku sekolah daÂsar, kehidupan Shinta relatif tidak bermasalah. Namun semenjak duduk di bangku salah satu sekolah menengah pertama (SMP) swasta di Cibadak, Shinta kecil mulai mengenal kehidupan luar rumah.
“Aku merokok sejak kelas dua esempe, minum juga. Jadi setelah beraÂni merokok, aku juga mulai berani meÂnengak minuman beralkohol... Heh... PaÂrah ya, gue?†Shinta mulai menceritakan sisi kelamnya.
Bahkan menurut Shinta, beberapa teman laki-lakinya menjuluki dia sebaÂgai "cewek anarkis". Bukan tanpa alasan, karena sejak duduk di bangku SMP, ShinÂta mulai senang nge-track. Bahkan ia kerap kali diminta cheking motor yang akan digunakan untuk nge-track.
Hingga kini gadis yang memiliki hobi menyanyi dan sering ikut manggung di acara-acara pernikahan ini, masih suka ngebut di jalanan. Terlebih jika dalam kondisi mabuk alkohol.
“Kalau gak lagi mabuk mah, aku juga gak berani lah,†terang Shinta.
“Emang harus cerita, ya?†Jawab Shinta ketika diminta pendapatnya mengenai keperawanan. Namun ketika dijawab: “Tidak harus!†Shinta justru memilih bercerita.
“Menurut gue penting... Penting banget! Tapi justru itu, gue menganggap itu penting setelah gue kehilangan virginitas (keperawanan-red)...†Bola mataÂnya mulai berkaca-kaca. “Jujur aja, waktu kelas dua itu, benar-benar awal kehancuran gue,†tambahnya.
Menurut Shinta, sejak awal ia memang lebih menyukai lelaki yang lebih tua. Ia mengaku tidak menyukai pacaran dengan teman yang sebaya dengÂannya. Sehingga ia pun memutuskan unÂtuk berpacaran dengan salah satu siswa sekolah teknologi menengah (STM) swasta di Kota Sukabumi.
“Dia begitu baik, perhatian... Makanya gue gak keberatan kesucian gue direngut...†Tatapan Shinta kosong ke arah sebuah setu kecil yang terletak di antara pepohonan sawit.
Pernah pada suatu waktu sepulang sekolah, Shinta bersama pacar dan teman-teÂmanÂnya pergi ke Gunung Walat, perÂbeÂkalan rokok dan minuman keras tidak luÂpa dibawanya serta. Usai mabuk-maÂbuÂkan, mereka pun pulang. Dan sesamÂpainya di rumah Shinta, sang ayah pun marah besar. Sejak itu pula lah hubungÂan Shinta dengan pacarnya mulai renggang, hingga akhirnya jalinan asmara mereka pun kandas di tengah jalan.
“Sakit... Sakiiit banget... tapi waktu itu mau ngadu ke siapa? Ngadu sama si bapak, sama aja bunuh diri,†ungkap Shinta lagi.
Â
Bermain Api
Semenjak kehilangÂan kegadisannya, Shinta seperti kehilangan arah hidupnya. ditambah lagi keinginannya memiliki motor pun tidak pula digubris oleh sang ayah.
Bahkan alih-alih membelikannya motor, Shinta justru dipaksa ayah dan ibunya tinggal di daerah Pajampangan bersama keluarga dari sang ibu.
Shinta akhirnya menerima keputusÂan kedua orang tuanya, “Ya hitung-hiÂtung menenangkan pikiran,†begitu alaÂsÂan Shinta.
Selama tinggal di rumah saudara dari ibunya itu, Shinta memutuskan tiÂdak lagi mau pacaran. Namun jika keÂnyataan pahit tidak menyelesaikan seÂkolahnya di tempat barunya tinggal itu, hal itu karena Shinta dituduh "gatal", karena dianggap mau melayani tingkah ganjen suami bibinya.
“Sakit hati banget... Gue baru kelas dua esempe, masa mau melayani lelaki setua itu... Suami bibi lagi... Asli sakit hati. Padahal anak bibi selama bibi jadi TKW (tenaga kerja wanita di luar negeri-red) itu tinggal di rumah gue, dan gak pernah dibeda-bedakan,†terang Shinta.
Akhirnya kedua orangtua Shinta pun memutuskan membawa kembali Shinta tinggal bersama mereka di Nagrak. Shinta sendiri menolak kembali melanjutkan sekolahnya di tempat asalnya tersebut.
Shinta telah memutuskan untuk menjadi wanita mandiri dan tidak mau menggantung hidupnya kepada orang lain. “Gue harus kerja... Kerja apa aja yang penting halal. Waktu itu mau masuk garmen, tapi usia gue kan baru enam belas. Jadi mau gak mau harus malsuin umur jadi delapan belas tahun,†terang Shinta.
Setelah tiga kali berpindah tempat kerja, Shinta kini tercatat sebagai tenaga kerja di PT L, di kawasan Parungkuda. “Nyaman gak nyaman, lagian mau kerja di mana juga sama aja... Kerja di garmen ya begitu-begitu aja,†urai Shinta.
Tidak lama setelah itu, Shinta menerima kabar pahit bahwa sang ayah memiliki kecengan baru yang masih ABG (anak baru gede), membuat sakit hati Shinta kian dalam. Sehingga dia pun berpikir menjalin hubungan dengan suami orang.
Kecenderungan Shinta yang selaÂlu mencari lelaki yang lebih tua terus berÂlanjut. Sepulang kembali ke Nagrak, Shinta mengenal Iwan, seorang dokter hewan. Namun karena merasa tidak ada kecocokan, Shinta akhirnya menolak melanjukan hubungan. Terlebih Iwan mengajaknya pindah ke Bali.
“Habis udahan sama Iwan, gue menjalin hubungan sama banyak cowok yang udah punya istri...â€
Saat ini Shinta menjalin hubungÂan dengan Yudi, seorang pemborong baÂngunan. Namun berbeda dengan seÂbeÂlumnya, Shinta mengaku telah meÂlÂaÂÂkukan kesalahan karena pernah tidur dengan Yudi. Sehingga ketika Yudi meminjam BPKB (buku pemilik kendaraan bermotor)Â motornya untuk mengajukan kredit ke bank pun, Shinta rela meminjamkannya.
“Ini kesalahan fatal gue, gue nurut aja, karena merasa gue udah ngorbanin lagi sesuatu yang berharga bagi gue... Gak tau deh sekarang mesti bagaimana, yang jelas gue semakin merasa gak berarti,†terang Shinta seperti sudah frustasi dengÂan tatapan kosong.
Di akhir perbincangan, Shinta setuju  bahwa inti persoalan yang dihadapinya adalah ada pada dirinya sendiri. Boleh dibilang ia beruntung memiliki keluarga yang begitu menyayanginya. Tapi sikapnya yang selalu memberontak kepada orang tuanya sejak kecil membuatnya kini terpuruk dalam penyesalan dan perasaan berdosa.
Lebih jauh Shinta mengaku, selain dengan Yudi, saat ini ia juga tengah menjalin asmara dengan seorang lelaki yang tengah bekerja di Jakarta.
“Tapi jujur, hubungan ini terasa hampa, kita sering komunikasi walaupun jarang bertemu... Hubungan kami baik-baik aja. Tapi jujur gue gak yakin dia ikhlas menerima kondisi gue sekarang...†ungkapnya mengakhiri perbincangan.