SUKABUMIUPDATE.com - Sampah plastik yang didalamnya termasuk gelas plastik sampai saat ini masih menjadi salah satu permasalahan serius di Indonesia. Berdasarkan data dari (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun.
Bahkan 5 persennya, atau 3,2 juta ton, merupakan sampah plastik. Dari jumlah 3,2 juta ton timbulan sampah plastik, produk AMDK bermerek menyumbang 226 ribu ton atau 7,06 persen. Sebanyak 46 ribu ton atau 20,3 persen dari total timbulan sampah produk AMDK bermerek merupakan sampah AMDK kemasan gelas plastik.
Selain volume timbulan, setelah dikonsumsi, AMDK plastik berukuran di bawah 1 liter sangat sulit untuk dikumpulkan.
Alhasil, sampah produk AMDK berukuran mini ini mudah tercecer dan mengotori lingkungan.
“Ukuran yang kecil-kecil itu berpotensi besar menjadi polutan,” kata Kepala Subdirektorat Tata Laksana produsen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ujang Solihin Sidik, seperti dikutip dalam keterangannya, Senin, 18 Juli 2022 yang kami lansir dari suara.com.
Oleh karena itu, dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, ada ketentuan produk minuman dalam kemasan plastik paling kecil bervolume 1 liter.
“Ini bukan anjuran, tapi kewajiban yang harus dijalankan,” kata Ujang.
Lebih daripada itu, menurut Ujang, AMDK gelas plastik juga menggunakan jenis material plastik (polypropylene) yang belum bisa diterima oleh industri daur ulang di Indonesia, baik gelasnya, penutup, sedotan, maupun pembungkus sedotannya.
Akibatnya, meskipun berhasil dikumpulkan, sebagian besar sampah AMDK gelas plastik memenuhi tempat pembuangan akhir sebagai timbulan sampah yang tak bisa dimanfaatkan kembali.
Menurut data Sustainable Waste Indonesia, tingkat daur ulang (recycle rate) sampah plastik di Indonesia baru 7 persen, dengan jenis plastik PET (yang digunakan untuk kemasan AMDK botol dan galon) mencapai 70 persen tingkat daur ulang.
Data ini menunjukkan, AMDK gelas plastik, termasuk penutup, sedotan, dan pembungkus sedotannya, menimbulkan masalah besar bagi lingkungan karena tak bernilai untuk didaur ulang.
Industri daur ulang pada gilirannya tidak memperoleh bahan baku yang dibutuhkan. Industri daur ulang pun terpaksa mengimpor bahan baku sampah plastik 750 ribu ton per tahun.
Padahal, jika sampah plastik bisa didaur ulang dan dikelola dengan baik, apa yang disebut dengan ekonomi sirkular di Indonesia bisa tumbuh pesat.
“Plastik bukan musuh peradaban,” kata Firdaus Ali, ahli lingkungan dari Universitas Indonesia dalam webinar yang sama. “Tapi yang bermasalah adalah tindakan primitif kita, sehingga plastik menjadi persoalan lingkungan.”
SOURCE: SUARA.COM