SUKABUMIUPDATE.com - Selain bikin ruwet dan ribet, kebijakan pemerintah melalui Pertamina soal membatasi konsumsi Pertalite dan Solar atau BBM Bersubsidi menggunakan aplikasi MyPertamina juga tidak ada jaminan tepat sasaran. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan tersebut menyimpan banyak risiko, salah satunya subsidi malah salah sasaran.
Mengutip tempo.co, Bhima menyoroti basis data yang tidak jelas untuk menentukan konsumen bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi. Mulai dari proses verifikasi dan akurasi data penerima jenis BBM penugasan itu masih menyisakan sejumlah celah.
Untuk solar, misalnya, bila pemerintah menargetkan hanya nelayan atau UMKM yang boleh membelinya, seharusnya sudah ada data konsumen yang disasar lengkap dengan nama dan alamat setiap rumah tangga.
"Data lainnya yang diperlukan adalah NIK milik nelayan dan pelaku UMKM tersebut," kata Bhima ketika dihubungi, Selasa, 28 Juni 2022.
Sedangkan untuk BBM jenis Pertalite, fase pertama yang perlu dibenahi adalah sinkronisasi data dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Sehingga, yang berhak membeli BBM bersubsidi benar-benar rumah tangga tidak mampu.
"Sekarang pertanyaannya, MyPertamina mau disinkronkan dengan data apa? Belum ada informasi detail nya, karena baru rencana mensinkronkan dengan data kendaraan," ujar Bhima.
PT Pertamina Patra Niaga mengumumkan pembelian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar dengan menggunakan aplikasi atau website MyPertamina akan diberlakukan per 1 Juli 2022.
Hal itu diumumkan lewat laman subsiditepat.my pertamina.id . Kebijakan itu akan diberlakukan di 11 daerah di lima provinsi.
"Untuk kelancaran pendaftaran, kami menghimbau agar pendaftar adalah konsumen yang berada di wilayah implementasi tahap 1 atau yang sering bepergian ke lokasi tahap 1," dikutip dari keterangan pihak Pertamina dilansir dari laman subsiditepat.mypertamina.id, Selasa, 28 Juni 2022.
Bhima memperkirakan pada praktik di lapangan, oknum yang tidak berhak mendapat subsidi bisa meminjam nomor induk kependudukan (NIK) atau kendaraan dengan plat nomor kendaraan berbeda. Verifikasi di lapangan, menurut Bhima, juga tidak mudah karena petugas harus melayani pembeli sekaligus melakukan pendataan.
"Ini akan menambah rumit pengawasan di lapangan," ucapnya.
Dengan bolong-bolong aturan itu, Bhima tak yakin pemberian subsidi bakal tepat sasaran. "Sangat mungkin yang terjadi justru penggunaan Mypertamina meningkatkan celah untuk menjual kepada pelaku industri atau pihak yang tidak berhak," tuturnya.
Selain ketidaksiapan data yang jadi masalah utama, ia menilai pembatasan subsidi dilakukan saat disparitas harga BBM non subsidi dan subsidi sudah terlampau jauh. Bhima mencontohkan harga Pertamax dan Pertalite kini terpaut lebih dari Rp 4.000 per liter.
Ia menilai waktu ideal membatasi pembelian Pertalite dan Solar Bersubsidi adalah ketika selisih harganya tidak jauh. "Kalau sekarang, pasti banyak yang keberatan karena dipaksa beli Pertamax. Padahal ada 115 juta orang kelas menengah rentan di Indonesia," kata Bhima.
Dianggap Kebijakan Kontraproduktif
Pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai kewajiban menggunakan aplikasi MyPertamina untuk membeli pertalite dan solar tidak akan efektif. Fammy berujar ada potensi rakyat di daerah yang tidak memperoleh subsidi lantaran tidak bisa mengunakan MyPertamina.
Menurutnya Fahmy, belum tentu pembeli bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi itu dapat menggunakan aplikasi MyPertamina. Alasannya, tidak semua konsumen menggunakan gadget untuk akses MyPertamina.
Alasan kedua, tidak semua SPBU memiliki akses internet yang dibutuhkan aplikasi MyPertamina. "Dengan potensi masalah tersebut, pembatasan Pertalite via MyPertamina sebaiknya dibatalkan," ujarnya.
Sebagai badan usaha yang menjual Pertalite dan Solar, kata Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Alfian Nasution, pihaknya harus patuh, tepat sasaran dan tepat kuota dalam menyalurkan BBM yang disubsidi pemerintah. Aturan baru ini akan berlaku di lima provinsi itu yaitu Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Alfian Nasution mengatakan inisiatif ini dimaksudkan dalam rangka melakukan pencatatan awal untuk memperoleh data yang valid dalam rangka penyaluran BBM subsidi lebih tepat sasaran. “Data pengguna yang terdaftar dan telah mendapatkan QR Code ini adalah bagian dari pencatatan penyaluran Pertalite dan Solar agar bisa lebih tepat sasaran, bisa dilihat trennya, siapa penggunanya. Kami pun tidak mewajibkan memakai aplikasinya, hanya perlu daftar melalui website yang dibuka pada 1 Juli nanti,” kata Alfian.
Data pribadi dan kendaraan tadi akan diverifikasi untuk menjadi pengguna BBM bersubsidi yang terdaftar. Pengguna BBM Pertalite dan Solar yang tidak memiliki aplikasi MyPertamina tidak perlu khawatir. Setelah pendaftaran, pengguna akan mendapatkan notifikasi melalui email yang didaftarkan dan QR code khusus yang menunjukkan data mereka cocok dan dapat membeli Pertalite dan Solar.
Uji coba awal penerapan program penyaluran BBM subsidi Pertalite dan Solar akan dilakukan di beberapa kota/kabupaten yang tersebar di lima provinsi yaitu Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Hageng Nugroho mengatakan selama ini pemerintah memberikan subsidi untuk menahan kenaikan harga BBM akibat melonjaknya harga minyak dunia yang mencapai USD 120 dolar per barel. Namun, karena terjadi selisih harga yang cukup lebar antara BBM subsidi dan nonsubsidi, maka membuat realisasi konsumsi BBM bersubsidi melebihi kuota yang ditetapkan.
“Jika tidak diatur, besar potensinya kuota yang telah ditetapkan selama satu tahun tidak akan cukup. Ini demi menjaga ketahanan energi kita," ujar Hageng.
PT Pertamina (Persero) mencatat, dari kuota yang diberikan sebesar 23,05 juta kiloliter, konsumsi pertalite sudah mencapai 80 persen pada Mei 2022. Sementara konsumsi solar subsidi mencapai 93 persen dari total kuota awal tahun sebesar 15,10 juta kiloliter.
Menipisnya kuota ini membuat pemerintah putar otak agar penyaluran BBM subsidi sesuai dengan peraturan, baik dari sisi kuota maupun segmentasi penggunanya. Sampai saat ini baru segmen pengguna solar subsidi yang sudah diatur penyalurannya. Sedangkan Pertalite segmentasi penggunanya masih terlalu luas.
“Oleh sebab itu perlu diatur yang bisa mengkonsumsi Pertalite. Misalnya apakah mobil mewah masih boleh? Padahal mereka mampu beli yang nonsubsidi,” kata Hageng.
SUMBER: TEMPO.CO (RIANI SANUSI PUTRI/M JULNIS FIRMANSYAH)